Jakarta, TAMBANG – Keluhan dari pelaku usaha perihal harga nikel domestik yang terus stress, sepertinya sudah didengar oleh Pemerintah. Saat ini, Kementerian Energi Dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sedang mendesain hukum untuk menertibkan perdagangan nikel di pasar lokal.
Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM, Ego Syahrial menuturkan, pihaknya akan mengharuskan para pelaku usaha smelter untuk membeli nikel domestik dengan mengacu pada Harga Patokan Mineral (HPM).
“Harga jual domestik sedang frustasi, untuk menjawab tantangan tersebut perlu menyusun taktik, di antaranya penerapan keharusan penggunaan HPM pada setiap proses penjualan,” ungkapnya ketika menjadi pembicara kunci pada ajang bazar Metalurgi Conference and Expo di Jakarta, Rabu, (7/8).
Kewajiban itu nantinya akan disertai dengan bahaya hukuman. Barang siapa yang bertransaksi tanpa merujuk pada harga persyaratan yang dirilis Pemerintah, maka akan dikenai hukuman.
“Penerapan sanksi bagi yang tidak memenuhi contoh pada harga patokan tersebut,” tutur Ego.
Menurutnya, tekanan pada harga jual di pasar domestik terjadi disebabkan oleh surplus buatan. Pasalnya, volume bikinan nikel melampaui kapasitas input dari smelter yang ada. Sehingga pasar domestik mengalami kebanjiran pasokan.
“Jika dijumlah daya serap dan kapasitas smelter masih terjadi surplus, di mana ada bikinan yang belum diserap di dalam negeri,” ulasnya.
Mengenai bentuk rincian hukuman, Ego belum mampu membeberkan. Yang terang, pihaknya berupaya menciptakan persaingan bisnis nikel yang sehat di dalam negeri. Pemerintah ingin menjaga para penambang setempat agar memperoleh harga jual yang patut, sehingga nantinya mereka dapat menunaikan kewajiban pajak dan konservasi lingkungan. Di ketika yang serupa, Pemerintah juga tetap menjaga supaya para pemain smelter memperoleh margin yang mencukupi.
“Kita pelaksanaannya mesti menyeimbangkan antara suplai dan demand, tata waktunya sedang kita atur. Kita akan membuatsebaik-baiknya dunia perjuangan,” ungkap Ego.
Sebelumnya, pelaku perjuangan yang tergabung dalam Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), sempat mengeluhkan perihal harga jual nikel yang mengalami ketimpangan.
Sekertaris Jenderal APNI, Meidy Katrin Lengkey sementara waktu kemudian menuturkan, pabrik pengolahan atau smelter dalam negeri kerap menawar nikel dari penambang dengan harga yang dinilai tidak masuk akal.
Sebagai citra, kata Meidy, nikel kadar 1,7 persen dibanderol di pasar domestik Free On Board (FOB) tongkang seharga USD 15 per ton. Sementara itu, nikel dengan kadar yang serupa, laku di pasar ekspor FOB vessel dengan harga menembus sampai USD 30 per ton.
“Harga lokal kami cuma USD 15. Kenapa orang ramai-ramai ekspor, batas kadar bijih nikel yang mampu diekspor 1,7 persen atau 1,69 persen, harga (ekspor) FOB vessel USD 30,” ujarnya dikala dijumpai di Jakarta, Kamis (4/7).
Menurutnya, Harga Patokan Mineral (HPM) yang ditetapkan oleh Pemerintah, sejauh ini hanya terpakai untuk setoran royalti saja, dan tidak digunakan sama sekali pada praktik jual beli antara penyedia dan penyerap bijih nikel.
“HPM cuma dasar buat pajak. HPM mereka (pembeli) gak pakai,” ujar Meydi.
Untuk dimengerti, berdasarkan gosip yang diperoleh tambang.co.id, APNI sedang berupaya melakukan audiensi dengan Presiden Joko Widodo. Kumpulan para penambang setempat ini ingin menyampaikan ihwal keadaan harga nikel domestik yang tertekan.