Jakarta, TAMBANG – Lebih dari lima belas tahun lamanya, Rusli Remusa menunggu kepastian atas tanahnya. Lahan warisan dari leluhurnya seluas 800 hektare itu, diserobot oleh perusahaan tambang batu bara.

 

“Dirampas tanpa pamit tanpa permisi,” ujar Rusli terhadap tambang.co.id, Jumat (20/12).

 

Rusli merupakan Kepala Adat Besar Dayak Bentian, yang memimpin sembilan suku di daerah Bentian, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.

 

Menurutnya, dulu ia bareng warga budpekerti kerap turun ke jalan menuntut hak ulayat kepada perusahaan. Tapi bertahun-tahun terakhir, dia menentukan membisu dan pasrah, bahkan cenderung putus asa sebab upayanya tidak pernah membuahkan hasil.

 

Tapi kali ini, beliau kembali memberanikan diri. Pada hari Rabu (18/12), beliau datang menyebrang dari kampungnya menuju Jakarta. Menyatroni kantor PT Trubaindo Coal Mining, anak usaha PT Indotambang Raya Megah yang semenjak tahun 2005 silam mengeruk kerikil bara di atas tanah milik Rusli.

Rusli Remusa (tengah bersongkok) mendatangi kantor Trubaindo

Kata Rusli, dia berdiri lagi menggugat karena Trubaindo hendak melaksanakan ekspansi. Operasinya melebar ke lahan berikutnya, di mana terdapat makam leluhur penduduk Dayak Bentian, ayah Rusli, mendiang Bae Lentuent.

 

Secara total, dia memiliki lahan seluas 1200 hektare di Bentian. Area yang diserobot dan telah dikeruk Trubaindo, lanjut Rusli, sekitar 800 hektare. Di area sisanya itu mendiang Bae Lentuent dimakamkan. Pada nisan makam tertulis tahun 1955. Nisan khas adab Dayat Bentian itu berbentuk balok memanjang sekitar satu meter, dengan ukuran diameter sekitar 20 sentimeter.

Makam mendiang Bae Lentuent, ayah Rusli.

 

“Kalau mereka berani menghancurkan makan leluhur kami, itu urusannya berbeda. Kami akan maju, meskipun menang jadi arang kalah jadi bubuk,” sesumbar Rusli.

 

Ia tiba ke Jakarta dengan momboyong penasehat aturan, Nursiti Sibarani. Rusli ingin menggugat Trubaindo ke meja hijau.

 

Selain ingin memastikan agar Trubaindo mundur dari daerah makam, Rusli juga ingin menuntut kompensasi atas penggunaan tanah ulayat, kompensasi yang semenjak dulu dia tagih tetapi sempat tertunda. Ia jeda menuntut karena perlawanan yang digulirkan pernah membawanya pada terali besi. Rusli dijebloskan selaku tersangka dengan tudingan membuat kerusuhan, mengganggu aktivitas operasional tambang.

 

Untuk dimengerti, saat ini pihak Trubaindo tidak mengakui jikalau konsesinya berada di atas tanah Rusli. Melalui akreditasi tertulis, atas nama seorang notaris, Trubaindo menyatakan pihaknya beroperasi di lahan hutan produksi, bukan di atas tanah hak milik penduduk . Sehingga permohonan kompensasi sah untuk ditolak.

 

“Alasannya, kata pihak perusahaan dan Kementerian ESDM (Energi dan Sumber Daya Mineral), konsesi Trubaindo berada di hutan produksi,” ujar Nursiti.

 

Padahal, dalam  berkas Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) milik Trubaindo yang diterbitkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada tahun 2008, diterangkan bahwa bila dalam area hutan yang hendak ditambang terdapat kepemilikan pihak ketiga, maka perusahaan dan Pemerintah Daerah wajib menyelesaikannya apalagi dahulu. Penegasan ini mengakui kalau di dalam hutan buatan mampu saja terdapat hak ulayat.

 

Rusli bercerita, bahwa ayahnya semenjak tahun 1940 sudah mengeluarkan uang pajak atas tanah terhadap kolonial Belanda daerah Onder District Moeara Behoefel. Pembayarannya memang tidak pribadi kepada Belanda, tapi lewat Sultan Kutai Kertanegara Ing Martadipura.

 

“Dulu, bila tempat tak ingindikuasai Belanda maka mesti bayar upeti. Belanda mengakui hutan di Bentian itu milik Sultan, namun Sultan harus bayar pajak. Kami masyarakat etika sebagai pengelola setornya ke Sultan,” kata Rusli.

 

Rusli menujukkan dokumen-dokumen pembayaran upeti kala Belanda dalam bentuk mata uang gulden.

 

Pada tahun 1973, Kepala Daerah Tingkat II Kutai mengeluarkan surat dengan nomor 898/G-4/Agraria 80/1973, yang mengakui kepemilikan Tanah Adat Keluarga Besar Grand Sultan.

 

Kemudian pada tahun 2008, putra mahkota dari Kesultanan Kutai Kertanegara Ing Martadipura membenarkan adanya tanah etika Kecamatan Bentian Besar, dan tanah tersebut dihibahkan terhadap masyarakat yang selama ini menduduki dan menggarap lahan, salah satunya yaitu Rusli Remusa. Dokumen ini secera terperinci menunjukkan Rusli mewakili warga etika merupakan pemilik sah sebagian lahan di kawasan Bentian.

Surat Putra Mahkota Sultan Kutai Kartanegara Ing Martadipura

Sebelumnya, pada tahun 2002-2004, pihak Trubaindo pernah bernegosiasi soal nominal kompensasi. Artinya, Trubaindo sempat mengakui bahwa Rusli ialah pemilik tanah tersebut. Saat itu, Rusli menolak anjuran karena nominalnya dinilai tidak layak.

 

Belum kelar urusan perundingan, datang-datang Trubaindo secara diam-membisu melangsungkan operasinya. Trubaindo menyerobot tanah dengan memanfaatkan saat-saat kala Rusli sedang pergi beribadah ke Yerussalem. Sepulang dari tanah suci, tanah ulayat sudah diduduki.

 

Hingga akibatnya, belakangan, malah Trubaindo berbalik arah, menyebut Rusli tidak memiliki hak atas tanah di Bentian. Lahan masyarakat etika Dayak Bentian yang dulunya asri, kini telah bermetamorfosis kubangan bekas galian batu bara yang menganga.

Butuh Bantuan Atau Pertanyaan?

Achmad Hino siap membantu Anda dengan memberikan pelayanan dan penawaran terbaik.

WeCreativez WhatsApp Support
Tim dukungan pelanggan kami siap menjawab pertanyaan Anda. Tanya kami apa saja!
👋 Halo, Ada Yang Bisa Dibantu?