Jakarta, TAMBANG – Selama periode pembekuan ekspor, penambang nikel nasional dikenai denda kelebihan waktu berlabuh atau demurrage dari pelanggan di luar hingga Rp 70 miliar. Hal tersebut disampaikan oleh Anggota Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (dewan perwakilan rakyat) RI, Andi Ridwan Wittiri.
Saat rapat terbuka bareng Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Rabu (27/11), Ridwan mengaku mendapatkan banyak sekali keluhan dari usahawan tambang nikel di daerah Sulawesi.
Salah satu unek-unek itu soal kerugian balasan pembekuaan ekspor nikel yang digulirkan oleh Badan Koordinator Penanaman Modal (BKPM) secara secara tiba-tiba pada sementara waktu lalu.
“Tiba-tiba BKPM memberi aba-aba secara mulut dihentikan ekspor. Mereka (penambang) kehilangan 10 hari, demurrage. Rp 7 miliar sehari, total Rp 70 miliar,” Ungkap Anggota DPR Daerah Pemilihan Sulawesi Selatan itu.
Penambang nikel, kata Ridwan, meminta Pemerintah biar memberi kompensasi berupa suplemen waktu untuk ekspor. Tambahan itu akan dipakai selaku pengganti ongkos demurrage yang ditanggung penambang.
Menurut Ridwan, kompensasi mampu dituangkan melalui revisi Peraturan Menteri (Permen) Nomor 11 Tahun 2019 yang mengendalikan larangan ekspor nikel. Dalam revisi, dikecualikan pemberlakuaannya selama 10 hari bagi penambang yang menanggung demurrage.
Untuk diketahui, beleid tersebut menyebutkan larangan ekspor resmi berlaku pada tanggal 1 Januari 2020. Jika kompensasi dimasukkan dalam revisi, maka pemberlakuan larangan ekspor mundur menjadi tanggal 11 Januari.
“Boleh enggak Permen itu dikasih extend karena kami tidak mampu ekspor selama 10 hari,” ujar Ridwan menirukan apa yang disampaikan penambang nikel kepadanya.
Sebagai info, BKPM sempat membekukan ekspor nikel hampir selama dua pekan semenjak Selasa (29/10) kemudian. Pembekuan tersebut dikeluarkan karena terjadi lonjakan volume ekspor secara drastis. Selama abad pembekuan, BKPM mendalami praduga potensi pelanggaran ekspor.