Jakarta,TAMBANG,- Semangat untuk mendorong transisi energi juga mulai masuk ke sektor manufaktur. Ini yang disampaikan Siti Shara, Peneliti Keuangan Iklim dan Energi Perkumpulan AEER. Siti menyebutkan bahwa peralihan ke energi terbarukan oleh industri hendaknya dilaksanakan secara signifikan, bukan sebatas greenwashing. Perusahaan yang belum melaksanakan transisi ke energi terbarukan kian mempunyai resiko tinggi kepada gambaran produknya.
Perkumpulan AEER mencatat transisi ini terjadi di beragam sektor. Dalam sektor masakan dan minuman, Danone-Aqua (Danone Indonesia) selaku perusahaan minuman terbesar di Indonesia sudah membangun 4 PLTS Atap di sepanjang tahun 2018-2021. Ke depan perusahaan ini menargetkan pemasangan panel surya di 21 pabrik Danone-AQUA di Indonesia dengan total kapasitas lebih dari 15 MWp pada 2023.
Di sektor pupuk dan kimia, ada PT Chandra Asri Petrochemical,Tbk yang sudah membangun instalasi panel surya pada tahun 2019 dan dilanjutkan dengan penambahan panel pada tahun 2021. Juga PT. Pupuk Kaltim yang memasang pembangkit tenaga surya dengan metode rooftop on grid pada tahun 2022. Di sektor semen, ada PT Semen Padang dan PT Semen Tonasa yang sudah keluar dari ketergantungan terhadap kerikil bara. Mereka menghasilkan listrik dari pembangkit listrik tenaga surya di plant milik perusahaan.
Beberapa industri lain juga sudah mengambil tindakan dan menegosiasikan percepatan transformasi energi dari fosil ke energi terbarukan. Namun jumlah ini masih kalah jauh dengan jumlah industri yang belum melangkah menuju energi higienis. Jika lima perusahaan makanan paling besar di Indonesia – adalah PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk, PT Sido Muncul Tbk, PT Akasha Wira International Tbk, dan PT Tiga Pilar Sejahtera Food Tbk membangun PLTS dengan kapasitas yang serupa dengan Danone Indonesia, ini akan meminimalkan emisi lebih dari 83.000 ton CO2/tahun.
Di sektor pupuk, ada PT Pupuk Indonesia selaku produsen pupuk dan kimia terbesar di Indonesia dan memiliki 9 anak perusahaan yang belum beralih ke energi ramah lingkungan. Mereka masih memakai energi fosil untuk sumber listriknya. Selain itu, PT. Lotte Chemical Titan Nusantara, PT Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI), PT. Kaltim Pasifik Amoniak, PT. Lautan Luas Tbk selaku industri terkemuka belum mengubah sumber energinya ke energi hijau.
Meski 2 anak perusahaan PT Semen Indonesia sudah melaksanakan transisi energi, masih terdapat anak perusahaan lainnya yang belum beralih meninggalkan energi watu bara. PT. Semen Indonesia menguasai 53,1% pasar semen nasional. PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk (INTP) dan PT. Semen Jawa juga sama.
Siti Shara menambahkan, menggunakan energi watu bara mempunyai pengaruh yang sungguh buruk untuk lingkungan dan mengalami kerugian secara ekonomi. Pilihan terbaik yaitu mengubahnya dengan energi higienis. Industri mampu meraih efisiensi energi untuk mengurangi dampaknya kepada lingkungan. Kami meminta terhadap industri-industri yang belum menggunakan energi terbarukan untuk mengambil langkah konkrit meniadakan batubara dari sumber energi listrik mereka.
Industri telah mesti meninggalkan energi kotor yang sangat konkret menghancurkan lingkungan. Secara ekonomi, membangun pembangkit listrik baru dari energi terbarukan kian murah ketimbang mengoperasikan pembangkit listrik tenaga batu bara gres. Industri juga mampu meminimalisir ongkos penanggulangan lingkungan akhir emisi batubara. Ini yakni bab dari upaya membangun ekonomi berkesinambungan, mengembangkan mutu hidup insan, dan menyelamatkan bumi dari krisis iklim.