JAKARTA, TAMBANG – Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Poso yang gres saja didirikan Presiden Joko Widodo (Jokowi) tercatat selaku pembangkit Energi Baru Terbarukan (EBT) terbesar di Indonesia Timur. Pembangkit berkapasitas 515 Mega Watt (MW) ini nantinya akan menjadi pembangkit peaker yang mau dioperasikan selama waktu beban puncak di sistem Sulawesi Bagian Selatan.

Direktur Utama PLN, Darmawan Prasodjo menyebutkan, hadirnya pembangkit yang memanfaatkan pedoman air Sungai Poso ini bertepatan dengan saat-saat banyak industri smelter yang masuk ke tata cara kelistrikan PLN di Sulawesi Bagian Selatan. Kebutuhan industri kepada listrik ramah lingkungan sebagai salah satu syarat ekspor, mampu dipenuhi dengan masuknya PLTA Poso dalam sistem Sulawesi.

 “PLN berkomitmen untuk terus mendukung perkembangan industri, utamanya industri pembuatan hasil tambang, dengan menawarkan opsi energi bersih yang sanggup menerima amanah,” ujar Darmawan dalam keterangannya, Jumat (25/2).

PLTA Poso merupakan pembangkit yang dibangun dan dioperasikan oleh produsen listrik swasta (Independent Power Producer/IPP) PT Poso Energy, anak usaha Kalla Group, dan masuk dalam pengawasan PLN Unit Induk Pembangkitan dan Penyaluran (UIKL) Sulawesi. Menurut Darmawan, peran PLTA Poso selaku pembangkit peaker didukung oleh beberapa faktor.

Faktor pertama, pembangkit ini mempunyai live storage cukup besar ialah Danau Poso. Selain itu, PLTA Poso dilengkapi dengan regulating dam yang bisa mengontrol debit keluaran dari Danau Poso. Alhasil, pembangkit ini dapat beroperasi dengan kapasitas penuh pada jam puncak sepanjang tahun.

 “PLTA Poso bisa start-stop dengan segera, bahkan sinkronisasi mampu dikerjakan dalam waktu kurang dari 15 menit. Sehingga mampu merespons pergeseran beban dengan segera sehingga memperbaiki mutu listrik pada sistem jaringan,” papar Darmawan.

Berbeda dengan PLTA lazimnya yang memakai rancangan waduk sehingga memerlukan lahan yang besar, PLTA Poso memakai metode pengelolaan run-off river (ROR). Sistem ini tetap menjaga pemikiran sungai selama 24 jam, cuma memakai bendungan atau tanggul berskala cukup kecil sebagai penahan atau gerbang air.

 “Kita cuma pinjam, air sungainya kita diversi sedikit ke sekitar sisi sungai, kita terjunkan ke turbin, lalu kembalikan lagi pada tata cara sungai,” papar Darmawan.

Dari faktor pengembangan energi terbarukan, PLTA Poso berkontribusi sekitar 10,69 persen dari total bauran EBT tata cara kelistrikan Sulawesi Bagian Selatan.

Selain itu, terbangunnya PLTA Poso merupakan bukti kasatmata agresifnya Indonesia sebagai tuan rumah KTT G20 yang berkontribusi dalam pengurangan emisi dunia. PLTA Poso menjadi showcase bahwa pengembangan pembangkit EBT saat ini semakin kompetitif.

“PLTA Poso menjadi salah satu proyek dengan kapasitas besar, menjadi peaker dan follower di tata cara kelistrikan Sulawesi. Dengan hadirnya PLTA Poso juga mampu menurunkan ongkos buatan listrik sehingga menjadi bukti pengembangan EBT semakin kompetitif,” tambah Darmawan.

Saat ini pembangkit ramah lingkungan ini sudah terinterkoneksi dengan kanal transmisi 275 kV ke Provinsi Sulawesi Selatan. Tak cuma itu, PLTA Poso juga sudah tersambung dengan susukan transmisi 150 kV dari pembangkit ke Kota Palu, Sulawesi Tengah.

Selain PLTA Poso, Presiden Jokowi hari ini juga meresmikan PLTA Malea berkapasitas 90 MW yang berada di Tana Roraja, Sulawesi Selatan. Pembangkit ini dikembangkan oleh PT Malea Energy, anak usaha PT Bukaka Teknik Utama yang juga milik Kalla Group. Pengoperasian dua pembangkit ini telah mengembangkan bauran EBT di Pulau Sulawesi meraih 38,8 persen.

Dewan Penasehat Kalla Grup, Jusuf Kalla menyebut PLTA yang dibangun pihaknya menyerap hingga 2.000 tenaga kerja. Sebanyak 80 persen dari pekerja ini berasal dari warga lokal.

“Hanya chief engineer saja yang datang, yang punya pengalaman. Sisanya semuanya dijalankan oleh anak bangsa. Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN)-nya juga besar,” ujar Jusuf Kalla.

Sementara terkait besarnya biaya pembangunan PLTA yang dua kali lipat dibanding PLTU, pihaknya tak menampik. Jusuf Kalla menyebutkan Biaya untuk membangun kedua PLTA berkapasitas total 605 MW ini meraih USD 1,2 miliar atau Rp 1,7 triliun.

Kendati mengakui ongkos pembangunan PLTA yang lebih mahal dibanding pembangkit berbasis fosil, Jusuf Kalla menyebut biaya operasional PLTA lebih hemat biaya.

“Memang secara investasi di awal ini besar kalau pengembangan EBT. Hanya saja, secara operasionalnya kedepan jauh lebih murah. Sedangkan kalau PLTU, investasi di depannya memang murah namun ongkos operasionalnya mahal,” tambahnya.

Butuh Bantuan Atau Pertanyaan?

Achmad Hino siap membantu Anda dengan memberikan pelayanan dan penawaran terbaik.

WeCreativez WhatsApp Support
Tim dukungan pelanggan kami siap menjawab pertanyaan Anda. Tanya kami apa saja!
👋 Halo, Ada Yang Bisa Dibantu?