Jakarta, TAMBANG – Koalisi Forests and Finance merilis data terbarunya. Di mana bank-bank internasional sudah memperlihatkan kredit sebesar USD 37,7 miliar kepada 23 perusahaan pertambangan kecil hingga besar di tiga kawasan tropis, yang dinilai berisiko mengakibatkan kerusakan hutan, pencemaran air, dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).
Sebanyak 5 pemodal teratas ialah Citigroup, BNP Paribas, SMBC Group, MUFG dan Standard Chartered. Dari semua kredit yang diberikan sejak tahun 2016 sehabis Perjanjian Paris ditandatangani, sebesar 43% kredit di antaranya diberikan terhadap perusahaan di Asia Tenggara, dengan nilai USD 16,1 miliar.
Sementara kredit yang diberikan kepada perusahaan di Afrika Tengah dan Barat serta Amerika Latin sebesar USD 10,8 miliar.
“Kami merilis data ini untuk memperbaiki transparansi forum jasa keuangan yang menjadi pendukung perusahaan tambang yang berisiko menimbulkan kerusakan hutan, pencemaran air, dan pelanggaran HAM serta menjinjing aneka macam imbas buruk bagi penduduk dan lingkungan di seluruh dunia sampai menjadi pendorong deforestasi yang cukup signifikan di kawasan tropis,” tutur Merel van der Mark, Koordinator Koalisi Forests & Finance yang dikutip Kamis (21/5).
“Data ini bisa dipakai selaku alat bagi penduduk sipil untuk menuntut pertanggungjawaban penyandang dana dan penanam modal atas berbagai pengaruh proyek-proyek yang mereka biayai,” sambungnya.
Sebanyak 10 grup perusahaan paling besar yang mendapatkan kredit ini di antaranya Glencore yang dikaitkan dengan keadaan kerja yang jelek dan pencemaran lingkungan di Kongo. Lalu, Vale yang ditengarai terlibat dalam pertentangan dengan masyarakat adat dan komunitas tradisional di Brasil.
Kemudian, Freeport McMoRan yang dinilai telah mencemari terusan air dan dikritik karena memicu konflik bersenjata di Papua dengan sejumlah pelanggaran HAM.
TuK Indonesia sebagai anggota koalisi Forest & Finance bersama WALHI menyikapi temuan ini sebagai pembiayaan besar atas kejahatan kemanusiaan.
Direktur Eksekutif TuK Indonesia, Edi Sutrisno menegaskan bahwa bank-bank yang menawarkan kredit ini mesti segera memperbaiki kebijakannya dan menyelaraskan kebijakan mereka dengan hukum Taksonomi Hijau yang dikeluarkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
“Saat ini sektor pertambangan kerikil bara masih masuk ke dalam penjabaran kuning atau tidak membahayakan dalam taksonomi tersebut, padahal pada praktiknya pertambangan industri mengakibatkan pengaruh sosial lingkungan yang besar secara global.” tukas Edi.
Dirilisnya data gres ini menyusul diterbitkannya Laporan Keterlibatan dalam Complicity in Destruction IV oleh Asosiasi Masyarakat Adat Brasil (APIB), anggota koalisi Forests & Finance, dan Amazon Watch, yang menawarkan bagaimana perusahaan tambang dan investor internasional mendorong pelanggaran hak budpekerti dan mengancam kurun depan ekosistem Amazon.
Untuk dikenali, Forests & Finance merupakan inisiatif koalisi organisasi riset dan kampanye, meliputi Rainforest Action Network (RAN), TuK Indonesia, Profundo, Amazon Watch, Reporter Brasil, BankTrack, Sahabat Alam Malaysia, dan Friends of the Earth US.