Gandeng Pgn, Pln Seriusi Gasifikasi Pembangkit Listrik Di Kawasan Terpencil

Jakarta, TAMBANG – Selain mempensiunkan beberapa Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), upaya PT PLN Persero dalam mempercepat transisi energi yaitu dengan memperbanyak pembangkit listrik yang ramah lingkungan. Salah satunya dengan mengubah Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) ke pembangkit listrik Tenaga Gas dan Uap (PLTGU).

Untuk mensukseskan hal tersebut, PLN melakukan pekerjaan sama dengan PT Perusahaan Gas Negara (PGN) Tbk untuk melaksanakan konversi 33 PLTD menjadi pembangkit listrik berbasis gas, khususnya di wilayah terpencil.

“Beberapa PLTD yang tahun ini juga digarap bareng PGN mengubah PLTD menjadi pembangkit listrik tenaga gas uap (PLTGU). Program gasifikasi ini menyasar tempat terpencil,” kata Direktur Utama PLN, Darmawan Prasodjo dalam keterangan tertulis, dikutip Kamis (24/3).

Menurut Darmawan, dikala ini PLN juga sedang membuka lelang pengerjaan untuk mengubah PLTD menjadi Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dan baterai. PLN akan mengkonversi hingga dengan 250 megawatt (MW) PLTD yang tersebar di sejumlah lokasi di Indonesia.

Nantinya, PLTD ini akan diganti menggunakan PLTS baseload, yang artinya ada suplemen baterai agar pembangkit mampu nyala 24 jam. PLN mendorong para penerima bisa memajukan inovasi sehingga tercipta baterai yang efisien dan punya keandalan operasi.

Dengan konversi ke PLTS dan baterai, maka kapasitas terpasang di tahap pertama ini bisa mencapai sekitar 350 MW. Sehingga bisa mendongkrak bauran energi terbarukan dan penambahan kapasitas terpasang pembangkit secara nasional.

Dalam tahap dua, PLN akan mengkonversi PLTD sisanya sekitar 338 MW dengan pembangkit EBT yang lain, sesuai dengan sumber daya alam yang menjadi unggulan di kawasan tersebut dan keekonomian yang terbaik. Darmawan juga menjelaskan proyek ini targetnya akan selsai pada 2026 mendatang.

“Program dedieselisasi ini bisa menghemat 67 ribu kiloliter BBM. Selain itu, pengurangan emisi yang diraih mampu meraih 0,3 juta metrik ton CO2 dan meningkatkan 0,15 persen bauran energi,” terangnya.

Seiring dengan pertumbuhan teknologi, Darmawan meyakini biaya buatan pembangkit EBT di Indonesia bakal semakin kompetitif daripada pembangkit fosil. Hal ini mampu dilihat dari terus turunnya harga PLTS dan baterai.

Pada tahun 2015 harga PLTS dipatok USD25 sen per kilowatthour (kWh). Namun ketika ini, harga PLTS bisa ditekan berkisar USD5,8 sen per kWh, bahkan dengan tren dikala ini mampu turun di bawah USD 4 sen per kWh.

Sedangkan untuk baterai hari ini harganya mencapai USD13 sen per kWh yang dulunya sempat di angka USD50 sen per kWh. Artinya, ada penurunan biaya hampir 80 persen.

“Perkembangan teknologi dan penemuan bisa menekan mengurangi harga dari pembangkit EBT. Ini menjawab problem antara energi bersih namun mahal atau energi kotor tapi murah. Ini mampu dijawab, bahwa dalam kurun waktu energi bersih dan murah bisa diraih,” tegas Darmawan.