Jakarta, TAMBANG – Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) mendorong pembentukan Indeks Nikel Indonesia (INI). Ide tersebut digagas untuk menanggulangi ketimpangan harga jual nikel di pasar domestik.
Sekertaris Jenderal APNI, Meidy Katrin Lengkey menuturkan, pabrik pengolahan atau smelter dalam negeri kerap menawar nikel dari penambang dengan harga yang dinilai tidak masuk akal.
Sebagai citra, kata Meidy, nikel kadar 1,7 persen dibanderol di pasar domestik Free On Board (FOB) tongkang seharga USD 15 per ton. Sementara itu, nikel dengan kadar yang sama, laris di pasar ekspor FOB vessel seharga 30 per ton.
“Harga lokal kami hanya USD 15. Kenapa orang ramai-ramai ekspor, batas kadar bijih nikel yang mampu diekspor 1,7 persen atau 1,69 persen, harga (ekspor) FOB vessel USD 30,” ungkapnya dalam Focus Group Discussion yang digelar APNI di Jakarta, Kamis (4/7).
Ketimpangan harga terjadi disangka akhir monopoli bisnis dari industri smelter di dalam negeri. Dengan adanya Indeks Nikel Indonesia itu, diharapkan dapat menjadi contoh transaksi di lapangan. Sehingga proses jual beli berjalan sehat menurut nilai yang hemat.
Menurut Meidy, biaya buatan bijih nikel tercatat meraih sekitar USD 16,5 per ton. Mulai dari kepemilikan tambang, perizinan pinjam pakai kawasan hutan, reklamasi, sampai administrasi penyusunan rencana lingkungan.
Kalau bijih yang dikeruk berkisar di kadar 1,7 persen dan dibanderol USD 15 per ton, maka penambang dipastikan bakal menanggung rugi. Saat ini, penambang yang menjual bijihnya ke domestik, rata-rata memburu buatan nikel kadar 1,9 persen, yang laris di pasar seharga USD 21 per ton.
“Itu pun marginnya tipis, sedangkan kita masih punya tanggungan keharusan, seperti pengembangan penduduk , corporate social responsibility, bayar pajak, dan lain-lain” ungkapnya.
Lalu bagaimana tugas Harga Patokan Mineral (HPM) yang sudah ada sebelumnya ?
Sejauh ini, HPM yang ditetapkan oleh Pemerintah, hanya dipakai untuk setoran royalti saja, dan tidak kuat pada praktik perdagangan antara penyuplai dan penyerap bijih nikel.
“HPM cuma dasar buat pajak. HPM mereka (pembeli) gak pakai,” ujarnya.
Untuk dikenali, per Juni 2019, HPM untuk nikel kadar 1,7 persen berada di kisaran USD 26, kadar 1,8 persen dipatok USD 29, dan kadar 1,9 persen senilai USD 33.
Salah satu motivasi pembentukan indeks nikel, yaitu ingin memalsukan kesuksesan Indonesia Coal Index (ICI), teladan transaksi batu bara di Indonesia.
“Kita belum tahu ke depan seperti apa, tapi pengalaman ICI. Awalnya, pokoknya hukum jualan saja, seiring berjalannya waktu ICI kepake,” papar Meidy.