Jakarta, TAMBANG – Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Mineral Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) Yunus Saefulhak mengungkapkan, pengolahan mineral di Indonesia belum optimal dalam membuat nilai tambah.
Pasalnya, pabrik pengolahan atau smelter yang beroperasi, hanya bisa menghasilkan produk setengah jadi (intermediate product), bukan mengolah galian tambang sampai menjadi produk final (simpulan product). Penyebabnya, ada mata rantai hilirisasi yang terputus.
“Perlu dipikirkan industri intermediate product menuju akhir product. Karena sesungguhnya added value yang terbesar justru ada di intermediate menjadi simpulan product. Membutuhkan tenaga kerja banyak, added value jadi banyak, incomenya menjadi lebih besar,” kata Yunus di Kantor Minerba, Jumat (6/12).
Ia menjelaskan, misalnya tembaga dengan cadangannya meraih 2,76 miliar ton, sejauh ini ada dua smelter yang beroperasi, di mana keduanya memiliki kapasitas bikinan katoda tembaga sebanyak 325 ribu ton. Produk setengah jadi berupa katoda itu, dilanjutkan pengolahannya di dalam negeri menjadi produk berupa kabel, cuma sekitar 218 ribu ton.
“Masih ada lebih 107 ribu ton katoda tembaga. Itu semua diekspor alasannya tidak ada yang hendak menyerap. Ini yang mesti dipikirkan semoga tidak berlebih,” ungkap Yunus.
Kapasitas output nikel dikenali sebanyak 319.220 ton dalam logam Ni. Kemudian yang terserap untuk stainless steel hanya 30 ribu ton Ni. Dengan demikian masih berlebih 289.220 ton Ni.
“Ini akhirnya diekspor lagi. Harusnya ini ditangkap oleh industri baja,” lanjut Yunus.
Sedangkan untuk bauksit kapasitas output untuk Smelter Grade Alumina (SGA) sebesar 1 juta ton dan Chemical Grsde Alumina (CGA) 300 ribu ton. Padahal kebutuhan dari produsen alumunium mirip PT Indonesia Asahan Alumunium (Inalum) hanya 500 ribu ton. Maka masih ada kelebihan 500 ribu ton.
Kemudian, kapasitas output logam emas 108 ton. Sedangkan daya serap industri nasional cuma 18 ton. Maka masih ada 90 ton yang belum tersisa.
Untuk timah, kapitas output sebesar 83.015 ton Sn. Kebutuhannya dari penjualan domestik ICDX sebanyak 3.442 ton Sn. Sehingga masih ada sisa 79.573 ton Sn.
Soal Perebutan Kewenangan Izin Smelter
Pembahasan omnibus law yang diusulkan ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI salah satunya mengontrol tentang wewenang hilirisasi tambang, seperti pembuatan dan pemurnian mineral. Dalam hal ini kewewenangan tersebut dianjurkan pindah dari Kementerian ESDM ke Kementerian Perindustrian.
Menanggapi hal tersebut, Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Mineral Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) Yunus Saefulhak mengungkapkan, pembahasan tersebut masih dalam proses pembahasan.
“Belum ditentukan bahwa pemurnian dilepas dari ESDM. Masih dalam proses pembahasan. Masih mendengarkan usulan-pertimbangan seluruh stakeholder yang ada,” ungkap Yunus.
Menurutnya, regulasi soal pemurnian harus disatukan dengan kegiatan pertambangan. Hal ini sesuai dengan Undang-Undnag Nomor 4 Tahun 2009 ihwal Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba). Artinya, kewenangan soal smelter semestinya tetap berada di bawah naungan Kementerian ESDM.
Kata Yunus, jika manajemen smelter dipisahkan dari acara tambang, kemudian diubah kewenangannya ke Kementerian Perindustrian, maka ada tujuh hal yang perlu dipertimbangkan.
Pertama, pertumbuhan smelter yang ada dikala ini, bisa dikatakan berkat dorongan Kementerian ESDM lewat UU Minerba, yang mengharuskan penambang melaksanakan Peningkatan Nilai Tambah (PNT). Jika manajemen smelter diubah, dikhawatirkan dapat menjadikan terhambatnya proses PNT itu.
Kedua, terdapat potensi penurunan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Ketiga, proyek menjadi tidak irit. Sebab, tidak semua mineral dapat dipisahkan dari pemurnian alasannya adalah faktor keekonomian, optimalisasi dan keamanan.
“Untuk penambang nikel skala besar mirip PT Antam dan PT Vale Indonesia. Apabila pengolahan dan pemurnian dipisah maka proyek pemurnian menjadi tidak irit alasannya tingkat keekonomian smelter tergolong marginal dan sangat sensitif terhadap biaya energi, materi baku dan harga komoditas, sehingga bila tidak terintegrasi dengan tambang proyek bersifat tidak berkelanjutan,” kata Yunus.
Keempat, penurunan investasi di sektor tambang. Proyek pertambangan emas yang tidak diwajibkan hingga dengan pemurnian, akan menjadi tidak feasible sehingga menjadikan penurunan investasi di sektor pertambangan.
“Kelima, perizinan menjadi tidak efisien di suatu lokasi pertambangan, alasannya adalah untuk satu entitas bisnis akan ada dua jenis perizinan yakni perizinan tambang hingga dengan pembuatan dan perizinan pemurnian,” anjut Yunus.
Keenam, pemisahan pemurnian dari pertambangan dimungkinkan hanya untuk berbagai macam mineral tertentu.
Ketujuh, jika pemurnian akan dipisahkan dari pengolahan, maka mesti ada pembiasaan pada Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KLBI), Badan Pusat Statistik (BPS) pada kategori B pertambangan dan penggalian, di mana selaku pemurnian masih masuk dalam kategori ini.