Bali, TAMBANG – Direktur Utama holding Badan Usaha Milik Negara (BUMN) bidang pertambangan PT Indonesia Asahan Alumunium (Inalum), Budi Gunadi Sadikin menunjukkan sinyal, bila pihaknya tidak terpesona untuk menggantikan konsesi dari pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B).
Saat ini, ada delapan perusahaan tambang kerikil bara super besar yang sudah dan akan habis masa kontraknya dalam masa waktu enam tahun mendatang. Mereka adalah pemegang PKP2B generasi pertama.
Rendahnya minat Inalum sebab anak usahanya, PT Bukit Asam, masih memiliki volume cadangan yang melimpah.
Menurut Budi, lebih baik holding konsentrasi pada eksploitasi cadangan yang telah tersedia, dari pada membebani perusahaan dengan mengelola konsesi baru.
“Kalau misalnya suruh akuisisi, kerikil bara kita masih banyak cadangan,” ujar Budi saat dijumpai dalam jadwal Coaltrans 2019 di Bali, Senin (24/6).
Pada peluang yang sama, Direktur Utama Bukit Asam, Arviyan Arifin mengelak ketika ditanya, apakah perseroan kepincutmengakuisisi lahan bekas PKP2B ?
“Saya gak mau komentar soal itu, sensitif,” tutur Arviyan.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 perihal Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba), pemegang PKP2B yang kontraknya akhir, apabila konsesinya diserahkan pada negara, maka BUMN menerima prioritas penawaran dalam lelang.
Tapi, UU tersebut masih dalam tahap revisi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Hingga dikala ini, belum ada kepastian kapan revisi akan final.
Sebagai gosip, tarik ulur soal PKP2B mencuat setelah surat Menteri Rini Soemarno bocor ke publik. Isinya menegaskan biar beleid yang juga mengontrol soal perpanjangan PKP2B, yaitu revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2010, biar dibuat mengikuti UU Minerba, bahwa BUMN harus mendapat perlakuan khusus.
Surat Rini disinyalir menciptakan Presiden Joko Widodo urung meneken PP Nomor 23 Tahun 2010 itu, yang tadinya telah hingga di meja Menteri Sekertaris Negara.
Adapun delapan pemegang PKP2B yang dimaksud, salah satu di antaranya sudah habis kontrak pada Januari lalu, PT Tanito Harum. Kemudian menyusul PT Arutmin Indonesia habis perjanjian 1 November 2020, PT Kendilo Coal habis kesepakatan 13 September 2021, PT Kaltim Prima Coal habis kontrak 31 Desember 2021, PT Multi Harapan Utama habis persetujuan 1 April 2022, PT Adaro Indonesia habis perjanjian 1 Oktober 2022, PT Kideco Jaya Agung habis perjanjian 13 Maret 2023, dan PT Berau Coal habis persetujuan 26 April 2025.
Terkait Tanito Harum, nasibnya sekarang sedang terkatung-katung, karena revisi PP Nomor 23 Tahun 2010 belum disetujui Presiden.
Sebelumnya, Tanito Harum sempat menemukan perpanjangan persetujuan dari Kementerian ESDM, namun kemudian datang-datang dicabut kembali.