Jakarta, TAMBANG – Bank Dunia dalam laporan berjudul “A Resurgent East Asia: Navigating a Changing World”, menyinari bagaimana daerah ini memiliki laju perkembangan terpesat dalam kurun seperempat masa.
Seiring dengan dunia yang berubah, maka tantangan baru pun bermunculan. Salah satu kunci yang mesti menjadi konsentrasi para pembuat kebijakan ialah untuk memajukan daya saing ekonomi. Dalam perubahan, Indonesia pun perlu memperoleh titik keseimbangan antara industri ekstraktif ke industri pengolahan.
“Yang akan terus mendorong pembangunan yaitu keterbukaan, reformasi ekonomi berkesinambungan, dan mempesona lebih banyak FDI. Hal-hal tersebut yang selama ini telah bekerja dengan baik akan terus demikian. Makara kalau ada upaya yang bertentangan, maka ada risiko peluang yang akan hilang,” terang Andrew D. Mason, sang penyusun laporan tersebut, usai diskusi yang digelar di Jakarta, Kamis (1/8) ini.
Ketika ditanyakan soal perubahan contoh ketergantungan pada industri ekstraksi sumber daya alam, beliau menekankan bahwa Indonesia perlu mendapatkan keseimbangan, untuk juga beranjak ke industri pengolahan yang membuat nilai tambah.
“Jika kita menyaksikan perekonomian Indonesia yang kaya akan sumber daya alam, dikaitkan dengan metode perdagangan dalam daerah ini dan secara global, mirip global value chain, maka kontribusi besar yang diberikan Indonesia adalah menyumbang sumber daya alam ke permulaan rantai tersebut untuk proses berikutnya. Hal ini sangat penting, dan telah menjadi modal bagi pembangunan Indonesia,” tutur Andrew..
Namun demikian, angka pertumbuhan dan kesempatan ekonomi terbesar tiba dari sisi lain dari rantai tersebut, ialah segi manufaktur. Tentu saja Indonesia juga ingin menjadi bagian dari sisi tersebut, dan kuncinya adalah pada keseimbangan. Keseimbangan itu dapat dicapai dengan makin memperkuat iklim bisnis, regulasi yang mendorong investasi, serta mendorong industri manufaktur dan ekspor bahan olahan baik yang setengah jadi maupun produk akhir.
“Satu catatan, jika Anda berbagi sektor manufaktur, maka ada spillover effect untuk ketenagakerjaan yang sangat penting. Pada pusat-sentra sumber daya alam tentunya juga tersedia peluang bagi tenaga kerja, tetapi biasanya lebih bersifat padat modal, sehingga spillover effect-nya tidak terlampau besar. Akan namun, yang paling penting yakni memperoleh keseimbangan antara keduanya, untuk kian mendorong pertumbuhan Indonesia,” tegas Andrew Mason yang menjabat selaku Acting Chief Economist for the East Asia and Pacific Region di Bank Dunia.
Ia mencontohkan, di antara negara maju, Amerika Serikat yaitu negara yang kaya akan sumber daya alam namun juga telah sukses berbagi keragaman ekonomi. Australia pun disebutnya mampu dijadikan acuan sukses.
“Dalam daerah ini, di antara negara-negara tetangga dengan tingkat pendapatan menengah, semua negara-negara yang kaya akan sumber daya alam sedang mengalami tantangan yang sama untuk memperoleh titik keseimbangan itu. Mongolia, Laos, bahkan Malaysia juga menghadapinya. Malaysia telah melaksanakan transformasi ekonomi, dengan meningkatkan manufaktur, dan mereka pun berjuang untuk memperoleh keseimbangan tersebut. Jadi memang bukan hal yang gampang, tetapi itulah hal yang tepat dari perspektif ekonomi,” pungkas Andrew.