Jakarta,TAMBANG, Hilirisasi watu bara dilihat selaku cara industri watu bara melakukan pembiasaan atas kemajuan global yang mengedepankan energi higienis dan berbasis prinsip keberlanjutan.  

“Kita harus mengkonversi bisnis batubara sesuai dengan perkembangan global dan dalam negeri, misalkan menerapkan Clean Coal Technology (CCT),” kata Direktur Pembinaan Pengusahaan Batubara Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara Sujatmiko pada program Peluncuran Laporan Seri Studi Peta Jalan Transisi Energi Indonesia pada Selasa (15/10).

Sujatmiko mengungkapkan ada tujuh skema hilirisasi batu bara yang tengah dikembangkan pemerintah. Ketujuh bagan tersebut ialah gasifikasi batu bara, pembuatan kokas (cokes making), underground coal gasification, pencairan kerikil bara, peningkatan mutu watu bara, pengerjaan briket, dan coal slurry/coal water mixture.

“Tujuh hilirisasi ini masa depan watu bara kita biar menjadi tulang punggung (backbone) energi baik di Indonesia maupun dunia,” tegas Sujatmiko.

Kementerian ESDM berdasarkan Sujatmiko menargetkan penambahan 3 akomodasi kenaikan kualitas batubara (coal upgrading) pada tahun 2024, 2026, dan 2028 dengan kapasitas masing-masing meraih 1,5 juta ton/tahun.

Sementara proses gasifikasi akan dijalankan oleh PT Bukit Asam selaku upaya subtitusi Liquified Petroleum Gas (LPG) melalui Dimethyl Ether (DME) yang beroperasi pada tahun 2024. Hal serupa dilakukan PT Kaltim Prima Coal (KPC) dengan kapasitas kurang lebih 4 juta ton.

Untuk penambahan pabrik briket direncanakan rampung pada tahun 2026 dan 2028 berkapasitas 20 ribu ton per tahun. Sementara planning dua akomodasi cokes making akan selesai di tahun yang sama dengan kapasitas kurang lebih satu juta ton.

Untuk mendukung upaya tersebut pemerintah telah mempersiapkan insentif fiskal dan non fiskal semoga proyek hilirisasi lebih ekonomis. Insentif non fiskal yang diberikan antara lain berupa izin perjuangan selama umur cadangan tambang. Artinya, izin usaha pertambangan tidak lagi dibatasi 20 tahun.

Sementara insentif fiskal berupa pembebasan royalti bagi batubara yang dijadikan materi baku hilirisasi. Royalti nol persen itu diyakini tidak akan mengurangi penerimaan negara. Pasalnya, hilirisasi bisa menciptakan imbas berganda yaitu membuka lapangan kerja serta menggerakkan roda perekonomian daerah. Dengan efek berganda itu, maka penerimaan negara yang hilang dari royalti nol persen akan tersubstitusi.

“Kalau industri jalan maka secara agregat pajak memberi laba bagi negara. Bagi tempat juga berpengaruh untuk pengembangan infrastruktur dan ekonomi pendukung,” ujar Sujatmiko.

Sujatmiko memutuskan peluangsumber daya batubara di Indonesia cukup besar dengan total 149 miliar ton dengan total cadangan sampai 38 miliar ton. “Aset ini mesti jadi return, bagaimana batubara terus memperlihatkan manfaat bagi bangsa dan negara,”tutupnya.

Butuh Bantuan Atau Pertanyaan?

Achmad Hino siap membantu Anda dengan memberikan pelayanan dan penawaran terbaik.

WeCreativez WhatsApp Support
Tim dukungan pelanggan kami siap menjawab pertanyaan Anda. Tanya kami apa saja!
👋 Halo, Ada Yang Bisa Dibantu?