Jakarta,TAMBANG, Minyak jelantah menyimpan potensi ekonomi yang menjanjikan. Produk ini mampu dijadikan selaku bahan baku pembuatan bahan bakar biodiesel secara komersil. Terkait hal ini Subkoordinator Keteknikan Bioenergi Kementerian ESDM Hudha Wijayanto mengatakan ada dua prinsip utama yang harus dipenuhi jika mengakibatkan jelantah sebagai bahan baku biodiesel.
Pertama, kualitas minyak jelantah mesti meraih persyaratan spesifikasi biodiesel. Kedua, punya nilai keekonomian tinggi dan mampu diimplementasikan. “Jika kedua prinsip tersebut mampu dipenuhi oleh biodiesel dari jelantah, maka peluangjelantah sebesar 3 juta kiloliter per tahun akan mampu menyanggupi 32% keperluan biodiesel nasional,” kata Hudha di Jakarta.
Sementara Engagement Unit Manager Traction Energy Asia Ricky Amukti menganggap eksistensi minyak jelantah selaku bahan bakar biodiesel menawarkan dampak nyata bagi lingkungan dan kesehatan. “Minyak jelantah yang dibuang asal-asalan akan besar lengan berkuasa langsung kepada lingkungan hidup. Jika menumpuk di selokan, akan menyebabkan anyir dan air selokan jadi kotor. Jika terserap di tanah, mutu tanah akan menurun,” ujarnya.
Ricky menambahkan penggunaan biodiesel dari minyak jelantah ini akan menekan jumlah emisi karbon. Berdasarkan analisa Kementerian ESDM, biodisel sendiri berpeluang menghemat 91,7% emisi karbon dibandingkan solar.
“Jika memanfaatkan jelantah, kita tak perlu mengganti hutan dengan perkebunan kelapa sawit, yang justru memiliki potensi mengembangkan emisi karbon,” terang Ricky.
Potensi yang besar ini sudah mulai dimanfaatkan Andi Hilmi, seorang pengusaha asal Makasar. Bahkan telah dilakoninya sejak masih duduk di kursi SMA. “Ketika itu kami berbagi puluhan diversifikasi energi. Namun, yang paling ideal yaitu biodiesel,” ungkap Andi. Ia telah mempunyai usaha biodiesel berukuran indsutri berlabel “GenOil” sebelum menginjak usia 21 tahun.
Ada beberapa kiat supaya berhasil memanfaatkan peluangbisnis minyak jelantah. Mulai dari mengenal kesempatanpasar dan kemudian membangun jejaring.
Terkait ini Traction Energy Asia sudah menginisiasi adanya Asosiasi Pengelola Minyak Jelantah. “Tujuannya adalah advokasi kebijakan semoga minyak jelantah dikontrol oleh regulasi. Hampir semua merespons aktual. Ke depannya kami akan mengadakan kongres dan deklarasi,” jelas Ricky.
Ini pasti akan membuka jejaring sebagai salah satu kiat sukses dalam bisnis minyak jelantah. Andi dan Ricky menganggap bahwa meski amat prospektif, bisnis pengolahan jelantah jadi biodiesel masih memiliki banyak tantangan, antara lain dalam teknologi pembuatan dan proses pengumpulan minyak jelantah.
Untuk mengumpulkan pasokan minyak, Andi membuat bank minyak jelantah RT/RW dengan fasilitas seperti check point dan jerigen. Dengan ini dia dapat mengintegrasi satu kota. Namun, untuk membuat bank minyak jelantah yang ideal, dibutuhkan ongkos tidak sedikit. Oleh karena itu Andi mengajak perusahaan besar untuk melakukan pekerjaan sama membuat bank minyak jelantah melalui acara CSR.
Hingga dikala ini Andi sudah membuat bank sampah di sekitar 20 sekolah, menyasar 500 siswa yang memiliki arti membidik 500 rumah tangga. Tantangan lain dari segi teknis biodiesel yaitu karakteristik bawaan dari minyak jelantah yang hendak sukar menyanggupi permintaan tinggi mutu biodiesel untuk B30.
Sedangkan dari segi bisnis, berdasarkan Hudha Wijayanto, keberadaan minyak jelantah selaku bahan baku yang tersebar dan tidak terpusat akan menyusahkan membangun pengolahan biodiesel dengan kapasitas yang besar untuk mendapatkan skala keekonomian terbaiknya.
“Jadi mungkin solusi yang bagus adalah bagaimana mendorong pemanfaatan bahan bakar nabati dari minyak jelantah lewat sketsa niaga pribadi ke end user (denah tertutup) di luar dari sketsa B30 yang berlaku secara nasional,” katanya.
Hal lain yang juga penting dilakukan ialah jangan bosan mengedukasi. Berdasarkan observasi, dari 16,2 juta kiloliter konsumsi minyak jelantah cuma 3 juta kiloliter minyak jelantah yang mampu dikumpulkan di tahun 2019, 2,43 juta kiloliter di antaranya didaur ulang untuk dimakan kembali.
Padahal minyak goreng yang dipanaskan berulang dan minyak jelantah yang dijernihkan kemudian digunakan lagi, memiliki peluang menimbulkan aneka macam macam penyakit, mirip penyakit jantung, ginjal, dan stroke.
Edukasi soal ancaman minyak goreng daur ulang inilah yang dilakukan oleh Andi dan timnya. Ketika mengolah masakan, bergotong-royong cuma 30 persen minyak goreng yang terserap, sisanya menjadi limbah. Ia mengajak penduduk menabung minyak jelantah. Nantinya, simpanan minyak jelantah ini ditukar dengan minyak goreng baru dan nantinya terbiasa mengonsumsi minyak goreng yang sehat.
Andi juga mengedukasi nelayan yang awalnya enggan menggunakan biodiesel sebab warnanya berlawanan dari solar, sehingga mereka cemas kapal jadi rusak. Andi menentukan, selain harganya lebih hemat biaya dibandingkan dengan solar, biodiesel juga tidak akan menghancurkan mesin kapal. Hal lain yang juga penting yakni libatkan penduduk di sekeliling .
Ricky menambahkan, sejumlah usahawan biodiesel di aneka macam kota memberdayakan masyarakat lokal untuk mengolah dan memasarkan produk olahan jelantah, sehingga dia menyaksikan bahwa usaha ini mampu menyerap banyak tenaga kerja.