Jakarta, TAMBANG – Komoditas merupakan salah satu sektor andalan yang berkontribusi besar dalam ekspor Indonesia selama lima tahun terakhir, di antaranya pada sektor watu bara, minyak kelapa sawit, gas minyak bumi, karet alam, dan lignit. Di sisi lain, globalisasi mengakibatkan perkembangan jumlah Perusahaan Multinasional di mana anggota grup bisnisnya mengontrol setiap rantai suplai dalam ekspor komoditas tambang. Hal ini menjadikan relasi komersial antar perusahaan dalam grup perjuangan bertumbuh dan makin intensif. Namun, ketika ini kontribusi industri pertambangan masih terdampak oleh wabah COVID-19 serta perang dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok.

Dalam rancangan perpajakan, transaksi afiliasi dide-finisikan selaku transaksi yang dikerjakan antara Wajib Pajak yang memiliki korelasi istimewa, dibuktikan dengan adanya kepemilikan saham yang signifikan (lebih dari 25%) dan kesamaan pengelola dan/atau adanya relasi kekeluargaan. Mekanisme pasar yang terjadi dalam transaksi antar pihak independen tidak hadir dalam korelasi komersial antar pihak afiliasi. Dengan sifat kekerabatan yang demikian, transaksi afiliasi mampu dikendalikan para pihak dalam transaksi.

Wawan Setiyo Hartono, Senior Advisor International Tax and Transfer Pricing –
Vice Managing Partner Taxprime

Berkenaan dengan transaksi afiliasi komoditas, Senior Advisor International Tax and Transfer Pricing sekaligus Vice Managing Partner Taxprime, Wawan Setiyo Hartono lewat Google Meeting pada Senin (09/11) beropini bahwa pemahaman dan seni manajemen yang komprehensif atas prinsip-prinsip transfer pricing dalam bertransaksi mampu meningkatkan mutu kepatuhan perpajakan dalam hal transaksi afiliasi serta memitigasi risiko koreksi dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP).

Penerapan Metode Perbandingan Harga antara Pi-hak yang Independen (Metode Comparable Uncontrolled Price/CUP) dalam Transaksi Afiliasi Produk Komoditas

Belum semua partisipan industri mengerti bahwa penetapan harga (pricing policy) atas transaksi afiliasi produk komoditas semestinya mengacu pada harga teladan pasar (market reference price). Harga pola pasar komoditas merupakan perumpamaan harga yang digunakan oleh pihak independen untuk memutuskan harga produk komoditas yang diperdagangkan. Dalam praktik transfer pricing, harga tersebut mampu mencerminkan kewajaran dari suatu harga jual produk komoditas.

”Apabila perusahaan tersebut menetapkan harga penjualan transaksi afiliasi komoditas tanpa memperhatikan volatilitas harga pasar, maka terdapat risiko koreksi oleh pemeriksa pajak. Koreksi ini disebabkan karena harga komoditas tersebut tidak konsisten dengan harga teladan yang biasanya digunakan dalam penetapan harga atas transaksi produk komoditas yang digunakan oleh pihak independen,” ungkap Wawan.

Wawan menyertakan bahwa salah satu isu yang dihadapi oleh Otoritas Pajak, khususnya negara-negara pengekspor komoditas ialah masih terdapatnya praktik harga transfer yang tidak wajar oleh MNE dalam melaksanakan transaksi afiliasi produk komoditas. Harga transfer yang tidak wajar ialah penetapan harga dalam sebuah transaksi afiliasi lintas batas negara yang tidak tidak sesuai dengan harga dan keadaan yang ditetapkan bila transaksi tersebut dilaksanakan antar pihak independen. Hal ini dikerjakan dengan tujuan untuk memperkecil beban pajak dalam grup dengan cara memindahkan basis pajak ke negara yang menerapkan tarif pajak lebih rendah.

Untuk mengantisipasi terjadinya penggerusan basis pajak tersebut, OECD (Organisation for Economic Cooperation and Development) memberikan tutorial komprehensif dan praktis yang dituangkan dalam OECD Transfer Pricing Guidelines 2017. Panduan ini mampu digunakan baik oleh Otoritas Pajak maupun Wajib Pajak dalam pengujian kewajaran transaksi afiliasi, tergolong transaksi atas produk komoditas. Dalam Bab V OECD Transfer Pricing Guidelines, diberikan pula pemikiran standar pelaporan dan pendokumentasian prinsip kewajaran dan kelaziman usaha yang dipraktekkan dalam transaksi afiliasi. DJP telah mengadopsi kriteria dokumentasi ini lewat Peraturan Menteri Keuangan Nomor 213/PMK.03/2016.

”PMK-213 prinsipnya mengharuskan Wajib Pajak untuk mendokumentasikan pricing policy dan gosip-berita yang berhubungan terkait pengujian kewajaran transaksi afiliasi dalam suatu Dokumen Penentuan Harga Transfer,” jelas Wawan. ”Dalam menyiapkan dokumen ini, Wajib Pajak diwajibkan untuk menguji harga transaksi afiliasi secara konsisten dengan pricing policy yang telah diputuskan sebelum atau pada dikala transaksi afiliasi dilaksanakan. Pendekatan ini diketahui selaku pendekatan exante,” dia menunjukan.

Berdasarkan pengalaman Wawan, salah satu penyebab terjadinya sengketa pajak karena Wajib Pajak tidak mampu menunjukan dasar pricing policy transaksi afiliasi produk komoditas dengan harga pasar yang umumnya dipakai untuk komoditas tersebut. Misalnya, Harga Mean of Platts Singapore (MOPS) untuk komoditas bahan bakar minyak, Harga Batu Bara Acuan (HBA) untuk komoditas watu bara, serta London Metal Exchange (LME) untuk produk logam. Lebih lanjut, seringkali pengujian kewajaran atas transaksi afiliasi dilakukan dengan pendekatan secara agregasi dengan menguji keseluruhan keuntungan perusahaan.

Pengujian dengan pendekatan ini kurang membuktikan kewajaran ataupun sifat transaksi afiliasi produk komoditas secara pribadi. Wawan menyarankan penggunaan sistem Perbandingan Harga antara Pihak yang Independen, atau yang lebih populer disebut metode Comparable Uncontrolled Price (CUP), selaku sistem yang paling sesuai dan konsisten dengan praktik bisnis untuk pengujian transaksi afiliasi produk komoditas.

Dampak COVID-19 atas Praktik Transfer Pricing

COVID-19 menawarkan tantangan bagi pelaku perjuangan yang menerapkan praktik transfer pricing selaku salah satu aspek yang sungguh terintegrasi dengan operasi bisnis pada sebuah MNE. ”Dalam suasana krisis dan turbulen mirip kini ini, potensi timbulnya sengketa perpajakan menjadi kian intens. Tantangan yang ada di hadapan Wajib Pajak adalah bagaimana cara mereka menandakan kewajaran pricing policy dalam transaksi afiliasi, bagaimana penerapan tata cara transfer pricing yang paling andal, dan bagaimana mendokumentasikan transaksi afiliasi produk komoditas sesuai ketentuan yang berlaku.” terang Wawan.

Pada kesempatan yang sama, Direktur International Tax and Transfer Pricing Taxprime, Emanuel Dewo Adi Winedhar menunjukkan pendapatnya terkait tantangan ini bagi MNE.

Emanuel Dewo Adi Winedhar, Direktur International Tax and Transfer Pricing
Taxprime.

”Dalam abad ini, perusahaan multinasional juga akan mengambil langkah-langkah strategis untuk menjaga kelangsungan usaha. Beberapa kebijakan tersebut antara lain desentralisasi dan/atau perubahan kebijakan harga,” tutur Dewo.

Pada situasi pandemi, umumnya perusahaan dapat menghadapi risiko kerugian. Dari perspektif transfer pricing, Dewo memperlihatkan pemahaman dalam mengidentifikasi kriteria perusahaan yang secara wajar mampu mencatat kerugian. Dalam suasana wajar , perusahaan dengan fungsi dan risiko terbatas seharusnya mendapatkan keuntungan yang relatif stabil dan lebih rendah dibandingkan perusahaan dengan fungsi dan risiko sarat . Di lain spektrum, dalam situasi krisis perusahaan dengan fungsi dan risiko sarat terpapar meningkatnya kesempatankerugian perjuangan.

Apabila perusahaan dengan fungsi dan risiko terbatas mengalami kerugian, maka kondisi tersebut kurang sejalan dengan analisis fungsi yang seharusnya dimiliki. ”Dalam keadaan demikian, kita perlu meninjau apakah perusahaan dengan fungsi dan risiko terbatas tersebut mesti menanggung risiko kerugian. Analisis lebih lanjut harus dijalankan untuk mengidentifikasi apakah perusahaan tersebut menertibkan risiko dan memiliki kemampuan finansial untuk menanggung risiko,” terperinci Dewo.

Poin-poin krusial yang juga mesti diamati oleh MNE pada keadaan krisis di antaranya ialah ketentuan kontraktual. Menurut Dewo, secara khusus, perhatian ekstra perlu dialokasikan kepada klausul terkait kondisi kahar dan penghentian kesepakatan kalau perusahaan multinasional hendak meninjau ulang pergeseran kebijakan harga yang sudah tercakup dalam perjanjian. Terkait hal ini, Wawan menyertakan, ”Selain klausul keadaan kahar dan terminasi kesepakatan, diharapkan juga pertimbangan terhadap keadaan yang mendasari perubahan kebijakan harga tersebut serta potensi negosiasi ulang  untuk pergeseran harga dalam situasi tertentu, seperti pandemi COVID-19 ini”.

Pertanyaan berikutnya ialah apakah dalam kondisi krisis, terdapat metode transfer pricing yang lebih diutamakan dalam pengujian transaksi afiliasi, dan apakah metode atau pendekatan yang dipakai pada kondisi normal dapat dipraktekkan kembali pada kondisi krisis. Menjawab pertanyaan ini, Wawan memastikan bahwa penggunaan sistem transfer pricing dalam pengujian transaksi afiliasi mesti didasarkan pada analisis kesebandingan. Dalam suasana krisis, apabila  data pembanding di tingkat harga seperti harga contoh komoditas sudah tersedia, maka data pembanding tersebut secara sempurna menggambarkan keadaan ekonomi terkini. Kemudian, sistem CUP dengan menggunakan harga acuan pasar merupakan sistem yang paling ahli untuk transaksi komoditas sebagaimana dijelaskan dalam OECD TP Guidelines 2017. Keandalan ini dikarenakan harga tersebut sudah merefleksikan kondisi ekonomi yang paling faktual sehingga tidak butuhlagi dilakukan perubahan pricing policy dalam suasana krisis.

Terkait pengujian pada keadaan krisis, Wawan menyertakan pendapatnya, bahwa pengujian secara segregasi mampu menolong untuk memajukan keandalan atas pengujian kebijakan harga atas setiap transaksi afiliasi. Pada prinsipnya, pendekatan segregasi menguji transaksi afiliasi secara terpisah selaku satuan tersendiri (transaksi per transaksi). Pendekatan tersebut berlawanan dengan pendekatan agregasi yang menggabungkan dua atau lebih transaksi afiliasi dalam satu pengujian dengan menguji profitabilitas sebuah perusahaan secara keseluruhan.

Apabila Wajib Pajak tetap menentukan untuk memakai pendekatan agregasi dalam pengujian transaksi afiliasi, maka akan mengakibatkan pengujian tersebut tidak dapat menggambarkan aspek-aspek penyebab kerugian yang terjadi ketika krisis akhir COVID-19 dan dapat menimbulkan  hasil analisis yang kurang akurat.

Penggunaan Advance Pricing Agreement (APA) selaku Mitigasi Sengketa Perpajakan

”Untuk menyingkir dari sengketa perpajakan atas transaksi afiliasi, perusahaan mampu mengajukan permintaan kesepakatan harga transfer (Advance Pricing Agreement) kepada Dirjen Pajak (Direktur Jenderal Pajak). Kesepakatan tersebut pada prinsipnya mengontrol ihwal metodologi harga transfer atas transaksi afiliasi yang akan terjadi pada tahun mendatang. Dalam hal Wajib Pajak mengajukan Unilateral APA, maka akad tersebut hanya mengikat Wajib Pajak dengan Dirjen Pajak. Apabila diperlukan, Wajib Pajak mampu mengajukan permohonan APA Bilateral yang mampu mengikat, baik itu antara Wajib Pajak dengan Dirjen Pajak maupun Otoritas Pajak negara lain dan perusahaan afiliasi Wajib Pajak yang berada di luar negeri,” ujar Dewo.

Terkait hal ini, Dirjen Pajak telah cukup akomodatif dalam mengadopsi tolok ukur internasional pada penerapan APA dengan mengeluarkan beleid PMK-22/PMK.03/2020 pada 18 Maret 2020. Menimbang pengaruh negatif yang dialami Wajib Pajak balasan COVID-19, DJP telah cukup responsif dengan mempublikasikan peraturan PER-17/PJ/2020 yang memberikan ruang bagi Wajib Pajak dalam mempertimbangkan pengaruh COVID-19 atas proyeksi keuntungan perjuangan yang mau dicakup dalam APA.

Menutup wawancara ini, Dewo menjelaskan bahwa dalam Peraturan Dirjen tersebut Wajib Pajak mampu menerapkan janji harga transfer untuk lima tahun pajak yang mau datang serta tahun-tahun pajak sebelumnya yang belum diperiksa oleh DJP. Selain itu, Peraturan Dirjen tersebut dapat menawarkan kepastian hukum bagi Wajib Pajak dan meminimalisir compliance cost di kala yang hendak datang. ”Wajib Pajak juga dapat lebih memfokuskan sumber dayanya untuk aktivitas strategis bisnis guna bertahan dalam  keadaan COVID-19,” pungkasnya.

Butuh Bantuan Atau Pertanyaan?

Achmad Hino siap membantu Anda dengan memberikan pelayanan dan penawaran terbaik.

WeCreativez WhatsApp Support
Tim dukungan pelanggan kami siap menjawab pertanyaan Anda. Tanya kami apa saja!
👋 Halo, Ada Yang Bisa Dibantu?