Jakarta, TAMBANG – Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) menilai aktivitas pertambangan di Pulau Wawonii melanggar UU No. 27 Tahun 2007. Oleh alasannya itu Kepala Kampanye JATAM, Melky Nahar bersama dengan koalisi masyarakat sipil yang terdiri dari Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), dan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mendesak izin perjuangan pertambangan di Pulau Wawonii, Kabupaten Konawe Kepulauan, Provinsi Sulawesi Tenggara, dicabut.
Melky mengungkapkan usul pencabutan izin pertambangan ini didasarkan pada sejumlah argumentasi, yakni pelanggaran hukum, kerusakan lingkungan dan pelanggaran hak asasi insan. Salah satu pelanggaran aturan yang dijalankan berdasarkan Meky, PT Gema Kreasi Perdana (GKP) sudah menerobos lahan milik warga yang diakui milik perusahaan. Padahal warga telah mengelola tanah tersebut selama 30 tahun dan tidak pernah menjualnya.
“GKP ini menerobos lahan dengan penjagaan polisi,” ungkap Melky di jakarta, Senin (11/11).
PT GKP bahkan membangun Terminal khusus di Desa Sukarela jaya kecamatan Wawonii Tenggara. Pembangunan tersebut dinilai tidak sesuai dengan alokasi ruang.
Kasubdit Pulau-pulau Kecil dan Terluar Dirjen Pengelolaan Ruang Laut (PRL) Kementerian Kelautan dan Perikanan, Ahmad Aris mengungkapkan sebagaimana dikelola dalam pasal 12 Perda No.9 tahun 2018 diaman lokasi tersebut dialokasikan untuk Kawasan Pemanfaatan Umum Zona Perikanan Tangkap (KPU-PT).
“Kegiatan pertambangan ialah salah satu kegiatan yang tidak diperbolehkan dilakuakan di KPU-PT,” ungkap Aris.
Aris menjelaskan terdapat aktivitas pertambangan mineral yang dilakuakaan oleh enam perusahaan di 7 likasi dengan status IUP operasai produski aktif yang diterbitkan oleh gubernur atau bupati.
Ketujuh perusahaan tersebut adalah PT Derawan Berjaya Mining , PT Alotama Karya, PT Bumi Konawe Mining , PT Konawe Bakti Pratama, PT Kimco Citra Mandiri, PT Gema Kreasi Perdana 1, PT Gema Kreasi Perdana 2.
Lebih lanjut Melky mengungkapkan, dari segi lingkungan hidup, pertambangan di Pulau Wawonii sudah menimbulkan krisis ekologis yang sungguh parah. Setiap tahun, banjir bandang senantiasa terjadi di pulau kecil ini. Padahal sebelum adanya proyek tambang, banjir tidak pernah terjadi.
“Saat ini warga sudah mulai merasakan efek dari daya rusak tambang nikel di Pulau Wawonii. Aktivitas tambang sudah mengakibatkan gagal panen perkebunan balasan dari abu pertambangan,” lanjut Melky.
Tak hanya di darat, kerusakan lingkungan juga terjadi di daerah pesisir Wawonii, utamanya di Desa Roko-roko, Kecamatan Wawonii Selatan, daerah dibangunnya pelabuhan khusus. lebih dari dua hektar terumbu karang mengalami kerusakan yang cukup parah. Kini, penduduk sudah sukar menemukan ikan-ikan karang. Meski pertambangan nikel atas di atas hutan, tetapi limbahnya akan berakhir di pesisir atau maritim. dalam rentang waktu lama, kerusakan terumbu karang akan terus meluas kalau proyek pertambangan tidak dilarang.
Di Desa Roko-roko, kecamatan Wawonii Selatan, pembangunan pelabuhan khusus untuk tambang dengan lebar 20 meter dan luas 6 meter telah merusak ekosistem pesisir perairan Desa Roko-roko.
“Pulau kecil memiliki kerentanan ekologis yang lebih tinggi dibandingkan pulau-pulau besar. Dengan daya rusak pertambangan yang sangat tinggi dan tidak mungkin untuk dipulihkan, maka mampu dipastikan jikalau tambang nikel tetap beroperasi, kita tinggal menjumlah mundur saja akhir hayat Pulau Wawonii,” tambahnya.
Dalam peluang yang sama Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati mengungkapkan karena ekosistem pesisir sudah mulai rusak secara perlahan-lahan, maka ikan sudah mulai sulit didapatkan. Nelayan di Kecamatan Wawonii Selatan dan Wawonii Tenggara melaporkan adanya penurunan hasil tangkapan ikan sesudah adanya proyek tambang nikel.
Jika sebelum adanya tambang bisa menangkap 50 kg gurita setaip hari, maka setelah adanya proyek tambang nikel, nelayan hanya mampu menangkap gurita sebanyak 5 kg saja. Artinya ada penurunan hasil tangkapan sebanyak 45 kg setiap harinya. Jika sebelum adanya tambang mampu menangkap ekor kuning dan ikan sunu sebanyak 1000 kg setiap hari.
“Maka sesudah adanya proyek tambang mereka hanya mampu menangkap di bawah 100 kg. Dengan kata lain, ada penurunan hasil tangkapan lebih dari 900 kg,” ungkap Susan.
Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) juga melakukan pemeriksaan terkait dengan upaya kriminalisasi kepada 27 masyarakat Wawonii. Dalam temuan KontraS, secara umum 27 orang dituduh melaksanakan perlawanan terhadap kegiatan perusahaan, sehingga pasal yang dikenakan seputar pasal 333 kitab undang-undang hukum pidana ihwal Perampasaan Kemerdekaan dan pasal 162 UU Mineral dan Batubara ihwal penghalangan aktivitas perusahaan.
Kepala Biro Penelitian, Pemantauan, dan Dokumentasi KontraS, Rivanlee Anandar mengungkapkan kehadiran tambang di tengah tengah kehidupan penduduk seakan menjadi mimpi buruk bagi masyarakat sekitar.
“Kondisi sekarang sama sekali mereka tidak pernah bayangkan, tanah waris yang mereka telah kelola lebih dari 30 tahun mesti menjadi korban ketamakan korporat, konflik sosial mulai tercipta bahkan di tiap malamnya sesama masyarakat dipaksa untuk saling mengintai dan mencurigai satu sama lain, seakan rasa kekeluargaan yang dulu pernah ada hanyalah sekedar kala lalu yang tak layak tuk direnungkan,” ungkap Rivanlee.
Namun, yang terparah dari efek aktivitas pertambangan di sana ialah kriminalisasi dan proses aturan yang tak berpihak. Menurutnya kondisi yang terjadi di Pulau Wawonii ketika ini yakni politisasi penegakan aturan.
“Di saat pihak perusahaan yang melapor cepat di usut, tetapi di saat rakyat yang melapor proses penegakan aturan tidak berjalan. Atas peristiwa ini ada beberapa warga yang sampai kini masih trauma, bahkan di ketika mereka dimintai keterangannya oleh pihak yang berencana untuk membantu mereka enggan untuk bercerita” ungkap Rivanlee.
Oleh alasannya adalah itu Koalisi Masyarakat Sipil menilai Pemerintah merasa perlu menunjukkan sikap dan keberpihakan pada mereka yang semakin terpinggirkan suaranya. Menutrutnya, angka-angka yang dikutip di atas hanyalah refleksi betapa dalam dan luasnya jangkauan kriminalisasi bagi sesama.
“Maka, perlu ada langkah yang terperinci, terukur, dan masif untuk menangkal jatuhnya lebih banyak korban kriminalisasi karena minimnya keberpihakan serta rendahnya pemahaman pemerintah akan permasalahan yang dihadapi publik sehari-hari,” lanjut Rivanlee.
Koalisi penduduk sipil memandang pencabutan seluruh izin tambang di Pulau Wawonii ialah hal mendesak yang mesti segera dilakukan oleh Pemerintah demi menjamin keamanan warga dan dan ruang hidup di Pulau Wawonii.