Jakarta, TAMBANG – Pemerintah bermaksud memisahkan jenis izin bagi pabrik pembuatan mineral atau smelter. Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Percepatan Tata Kelola Minerba, Irwandy Arif menyampaikan, pihaknya membedakan smelter yang terintegrasi dengan tambang, dan smelter yang independen.
Contoh smelter yang terintegrasi, kata Irwandy, adalah milik PT Vale Indonesia di Sorowako, dan smelter milik PT Antam di Pomalaa, Sulawesi Tenggara. Perusahaan yang pabrik dan tambangnya tergabung di satu lokasi, maka kewenangan perizinannya dikendalikan oleh Kementerian ESDM.
Sedangkan smelter mirip milik PT Freeport Indonesia di Gresik yang bangkit sendiri, operasinya akan berada di bawah kewenangan Kementerian Perindustrian (Kemenperin). Hal demikian sebagaimana smelter milik PT Smelting Gresik, yang selama ini beroperasi berdasarkan Izin Usaha Industri (IUI) dari Kemenperin.
“Hilirisasi ini kemungkinan besar semua smelter yang masih terintegrasi dengan tambang, maka pengelolaan smelter oleh ESDM. Tapi semua smelter yang independen, acuan Freeport di Gresik, tidak di bawah ESDM tapi Perindustrian,” kata Irwandy ketika dijumpai di Jakarta, Senin (24/2).
Untuk dimengerti, smelter Vale Indonesia tahun lalu mencatatkan bikinan sebanyak 71.025 ton dalam bentuk nikel matte. Sedangkan tahun ini, sasaran yang dipasang sekitar 71.000 – 73.000 ton. Vale dikabarkan sedang membangun kembali (rebuild) satu unit tungku pengolahan nikel dari total 4 tungku yang dimiliki perusahaan.
Sedangkan Antam, menurut pembukuan keuangan tahun 2019 anaudited, mencatat produksi feronikel sebesar 25.713 TNi. Produksi ini disumbang oleh smelter di Pomalaa.
Sementara itu, smelter Freeport Indonesia yang dibangun di Manyar, Gresik, Jawa Timur, rencananya akan masuk tahap konstruksi pada pertengahan tahun ini. Ditaksir nilai investasinya mencapai USD 3 miliar.