Jakarta, TAMBANG – Hilirisasi atau kenaikan nilai tambah sektor mineral dan watu bara menjadi alat untuk merealisasikan tujuan nasional, adalah menyejahterakan, mencerdaskan dan menjadikan bangsa Indonesia setara dengan bangsa lain. Hilirisasi bukan tujuan namun selaku sarana mencapai tujuan bangsa.
Sementara mineral yakni sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui dan ialah modal permulaan bangsa Indonesia yang pemanfaatan dan pengelolaannya harus dapat memberi manfaat bagi bangsa dan rakyat Indonesia.
Dalam kebijakan hilirisasi, Pemerintah dibutuhkan mampu menentukan prioritas yang bersifat jangka panjang, jangka menengah dan jangka pendek. Jangan sampai tujuan jangka pendek malah mengorbankan tujuan jangka panjang. Manfaat nasional secara singkat dapat dibagi menjadi beberapa hal antara lain, memajukan kompetensi nasional (kapital insan, jasa dan produk), pembangunan wilayah, pasokan dalam negeri, pemasukan pemerintah dan pendapatan devisa.
Kemampuan dan kompetensi nasional mesti menjadi titik utama sebab selaku sumber daya yang tidak terbarukan, transformasi menjadi kemampuan nasional akan dapat mengganti ekonomi nasional yang bergantung pada industri ekstratif menjadi industri berbasis kapital manusia, innovative dan creative (industry 4.0). Pemerintah mesti memperlihatkan perhatian dan keperpihakan kepada kemampuan nasional dibandingkan dengan kesanggupan abnormal.
Dalam konteks ini Center For Indonesian Resources Strategic Studies (CIRUS) menyayangkan planning pemerintah untuk mempercepat larangan ekspor untuk bijih nikel. Pemerintah seolah-olah tidak mengamati kepentingan jangka panjang, dan ada kesan mengikuti tekanan golongan tertentu.
“Pemerintah semestinya melaksanakan evaluasi persoalan yang dihadapi usahawan nasional untuk mewujudkan hilirisasi. Kebijakan ini telah gagal pada batas waktu yang ditetapkan yakni tahun 2014, 2017 dan 2022 yang juga berpotensi gagal,” jelas Direktur CIRUS, Budi Santoso lewat siaran resminya, Kamis (29/8).
Selama ini ada beberapa kesusahan pengusaha tambang nasional dalam membangun smelter mulai dari perizinan, teknikal (sumber daya dan cadangan), infrastruktur, keuangan dan pasar yang secara praktik bisnis tidak memungkinkan bisa diraih cuma dalam masa waktu 5 tahun.
Pemerintah mesti mampu meminimalisir atau merenggangkan beban tersebut atau memberi fleksibilitas waktu lebih fleksibel untuk menyanggupi planning sesuai dengan praktek umum acara usaha dan tidak “tertipu” ajuan yang cuma di atas kertas.
Fakta yang dialami pebisnis nasional yang hasilnya menjadi partner minoritas semestinya menjadi pendapatPemerintah untuk menciptakan kebijakan yang lebih mendorong kapasitas dan kemampuan nasional meningkat.
“Bukan sebaliknya, hanya karena tujuan pengerjaan smelter,” tandas Budi.
Dalam praktek bijih nikel yang dipasok ke pabrik dibeli dengan harga di bawah harga pasar internasional. Sehingga secara tidak eksklusif pemilik smelter sudah menikmati laba berlipat, ialah margin harga dengan pasar internasional dan ongkos pengapalan.
Oleh hasilnya CIRUS memberi beberapa masukan kepada Pemerintah untuk meninjau kembali kebijakan yang tidak konsisten tersebut. Selain itu, juga memberi dorongan dan pertanda keperpihakan terhadap pengusaha nasional.
Pertama, melaksanakan evaluasi kegagalan perusahaan nasional membangun pembuatan dan pemurnian dan menghemat (jika tidak dapat menghilangkan) faktor-faktor penghambat seperti perizinan, teknikal, infrastruktur, teknologi, keuangan dan pasar.
Kedua, meninjau kembali konsep hilirasi yang mengikat dengan Izin Usaha Pertambanhan (IUP) untuk lebih mendorong ke produk hilirnya atau ke industri.
Ketiga, mempercepat ditetapkannya kebijakan mineral dan watu bara nasional sebelum melakukan pergeseran undang-undang ataupun peraturan.
Dan keempat, menjamin smelter yang telah beroperasi berbelanja bijih nikel tidak lewat “mediator” sehingga harga jual dari pemilik tambang terhadap smelter mendekati harga pasar internasional.
Pemerintah juga mesti memikirkan persoalan acara ekonomi regional (daerah) yang masih mengandalkan aktivitas tambang sehingga tidak terjadi kerisauan sosial bila terjadi pemberhentain bikinan sebab tidak dapat memasarkan hasil tambangnya.