SAAT tinggal landas perjalanan pulang dari Jogja ke Jakarta tgl 6 September 2019 di New International Airport Jogjakarta (NIAY) Kulon Progo, sambil melihat kelandasan, aku sangat duka. Sebagai orang tambang, aku memohon ampun kepada Tuhan bahwa kami telah ingkar dan menyia-nyiakan RahmatMu yang sudah diimpahkan kepada bangsa ini dan bahkan aku juga mesti meminta maaf pada anak cucu terhadap keputusan yang dilakukan generasi saat ini.
Kesedihan saya sampai memunculkan pertanyaan “ini kebodohan siapa?”, apakah tidak ada orang yang mengingatkan atau kita telah merasa berkelimpahan dan kaya sehingga kufur rahmat dan menyia-nyiakan rahmat Tuhan.
Bandara yang dibangun di atas tanah 550 ha, tidak disadari merupakan bandara yang termahal didunia. Bandara tersebut dibangun di atas sumberdaya pasir besi yang mempunyai nilai lebih mahal dari bandara itu sendiri. Kenapa? Sejak bandara dibangun maka pasir besi yang merupakan rahmat dari Tuhan tidak akan mampu diambil selamanya kecuali bandara tersebut ditutup dan dibongkar, jelas itu mustahil.
NIAY dibangun di atas lahan bekas IUP PT. Jogja Manggasa Iron (JMI) adalah perusahaan tambang pasir besi yang akan membangun smelter baja yang produknya berupa besi, Titanium Oxida dan Vanadium pentadate. Komoditi tersebut merupakan komoditi yang memiliki nilai ekonomi yang tinggi dan tentunya kalau dimanfaatkan akan memperlihatkan dampak nyata bagi pemerintah (royalty dan pajak), pemasukan kawasan, lapangan kerja dan tentunya kemajuan ekonomi Jogjakarta sendiri.
Tetapi ketika lahan tersebut dijadikan bandara maka faedah ekonomi tersebut hilang selamanya. Mungkin anak cucu kita akan mentertawakan keputusan ini, bagaimana keputusan “kolot” bisa dikerjakan membuat bandara di atas pasir besi yang bernilai tinggi.
Berapa kesempatannilai pasir besinya?
Lahan yang dipergunakan untuk Bandara tersebut sekitar 550 ha atau 5,5 juta m2, dan berdasarkan bocoran JMI ketebalan rata-ratanya pasir besinya sekitar 7 m, total volumenya adalah 38.5 juta m3 dan kalau densitynya 3-4 ton/m3 maka peluangdepositnya 115 juta ton material pasir. Kandungan konsentrat pasir besi ialah 13% (kandungan Fe2O3 60%, Titanium 7-11%, Vanadium 0.4%-0.7%) atau 15 juta ton konsetrat pasir besi. Apabila konsentrat pasir besi tersebut $70 per ton, nilainya setara dengan $1 milyar atau senilai Rp14 triliun.
Dan kalau proses dilanjutkan menjadi besi dengan harga $500 per ton, titanium oxide dengan harga $1000,-. per ton dan Vanadium Pentadate $5,000 per ton maka total nilai deposit akan bernilai $8.5 milyar atau Rp118 triliun. Biaya pembangunan pembangunan Bandara NIAY hanya Rp 9.3 Triliun harusnya bisa gratis dibayar oleh pemanfaatan pasir besi dan masih menerima faedah yang lebih besar lagi. Kita masih butuh duwit untuk membayar BPJS tetapi menyia-nyiakan sumberdaya alam kita yang terbatas.
Konsep “Mining First”
Sumberdaya mineral dan batubara kelayakan keekonomiannya sungguh tergantung dengan nilai lahan di atas permukaan, makin tinggi nilai lahan di atasnya maka makin rendah nilai keekonominnya alasannya adalah ongkos produksinya perlu mengubah biaya untuk nilai lahan di atasnya. Berdasarkan prinsip tersebut, saat lahan di atasnya akan berganti fungsi selaku lahan yang mempunyai nilai lebih mahal mirip untuk infrastruktur, pemukiman dan industri, kalau terdapat peluangtambang maka mesti diambil terlebih dahulu.
Oleh alasannya itu dalam penentuan tataruang, iventarisasi dan berita potensi perihal sumberdaya mineral atau batubara mesti dikenali. Penambangan kesempatanmineral dan batubara harus didahulukan dan ini dikenal dengan desain “mining first”.
Kebijakan “mining first” ini tidak disadari oleh pihak-pihak yang terkait dalam pemanfaatan tata ruang dan ada kesan bahwa tambang malah harus diposisikan pada urutan terakhir, sesuai dengan amanah Undang-undang Dasar bahwa kekayaan alam yang ada di bumi mesti dikuasai negara dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemamkmuran dan kesejahteraan rakyat. Kasus bandara NIAY, negara sudah menyia-nyiakan sumberdaya alam.
Secara geologi sesungguhnya banyak lokasi yang diidentifikasi mempunyai peluangsumberdaya mineral dan batubara, tetapi dalam penentuan tataruang telah berkembang menjadi pemukiman dan perkotaan dan akhirnya pemanfaatan mineral dan batubaranya tidak ekonomis, penguasaha tambang yang mempunyai ijin tidak dapat menambang alasannya adalah nilai lahannya telah sangat tidak murah dan hasilnya peluangtersebut tidak berguna.
Padahal bila bahan mineral dan batubaranya dimanfaatkan terlebih dahulu maka ruang tersebut masih dimanfaatkan dan dalam perencanaan konsep penutupan tambangnya bisa di sesuaikan dengan planning tataruang yang akan tiba bahkan keadaan permukaannya dapat dirancang sesuai dengan rancangan landscape pemakainya. Lahan-lahan bekas tambang dengan kontur yang berkala mampu menjadi kawasan yang menawan untuk pemukiman atau perkotaan.
Pelajaran jelek
Keputusan pemerintah membuat infrastruktur (teladan lain: Jalan TOL Samarinda-Balikpapan diatas lahan batubara) atau ruang komersial lainnya di atas lahan yang mempunyai kesempatanmineral dan batubara perlu menjadi pelajaran para pengambil kebijakan sehingga sumberdaya alam yang merupakan asset negara tidak tidak berguna.
Keputusan yang buruk ini jangan sampai diulang ketika Pemerintah menentukan lokasi ibukota gres dan pihak-pihak yang terkait harus memastikan tidak ada potensi sumberdaya alam mineral dan batubara dibawah lokasi ibukota baru. Survey “condemnation” lokasi perlu dilakukan untuk memutuskan bahwa tidak ada kesempatanyang bernilai ekonomi. Jangan hingga kufur rahmat Tuhan yang sudah melimpahkan sumberdaya alam yang tidak dimiliki oleh bangsa lain. Gunung Salak, Pelereman Luhur.
* Ini ialah goresan pena Sdr Budi Santoso, Direktur Centre for Indonesian Resources Strategis Studies (CIRUS).