Jakarta, TAMBANG – Hingga lima tahun mendatang, terdapat enam perusahaan pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) generasi pertama, yang mau habis abad kontraknya. Nasib perusahaan tambang skala besar itu masih terkatung-katung, menunggu pengesahaan Rancangan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (RUU Minerba).
Salah satu pokok penting dalam beleid tersebut, yaitu soal ketentuan konsesi lahan pertambangan, yang maksimal dipatok seluas 15 ribu hektare. Sedangkan, pemegang PKP2B generasi pertama, diketahui memiliki konsesi lebih dari 15 ribu hektare. Misalnya PT Kideco Jaya Agung, yang kontraknya selsai pada 2023 nanti, luas areanya mencapai 50.921 hektare.
Bila ketentuan batas-batas lahan diberlakukan, maka pemegang PKP2B wajib melakukan penciutan, mengembalikan lahannya ke negara. Lalu lahan tersebut akan dilelang untuk nantinya digarap oleh perusahaan lain, dengan memprioritaskan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Managing Director dan CEO PT Indika Energy, perusahaan induk dari Kideco, Azis Armand menuturkan, ketentuan soal penciutan akan menenteng pengaruh pada teknis penambangan.
“Kalau dijalankan perubahan (luas kawasan) dampaknya lumayan signifikan,” ujarnya saat dijumpai di Jakarta, Kamis (31/10).
Ia menyebutkan soal kesempatanhilangnya cadangan batu bara. Bila sebuah konsesi dibagi-bagi pengelolaannya oleh beberapa perusahaan, maka akan ada pembatas yang menimbulkan cadangan tidak tergali maksimal.
“Ada kesempatancadangan hilang,” ungkap Azis.
Kemudian, pembatasan lahan juga akan menjadikan buatan tidak maksimal. Sebab, operasional penambangan tidak cuma membidik area yang mengandung deposit saja, tapi juga memerlukan lahan untuk menumpuk tanah pengupasan (over burden). Jika kawasan menumpuk tanah menyempit, maka bikinan watu bara akan ikut menurun.
Selain itu, perubahan daerah timbun over burden juga akan mempunyai efek pada pergeseran biaya pengangkutan tanah dari gelanggang tambang (pit) menuju lokasi timbun.
“15 ribu (hektare) tergolong kawasan pembuangan waste ? di tambang bukan cuma nambang tetapi juga ada over burden-nya. Jarak disposal dan pit-nya itu dampak biaya. Makara pergantian itu efek biaya,” bebernya.
Menurut Azis, makin luas area yang dipegang oleh suatu perusahaan, maka akan semakin efisien. Pasalnya, industri tambang merupakan sektor yang sungguh bergantung dengan harga komoditas. Saat harga batu bara anjlok, salah satu cara menutup margin tipis yakni dengan memburu peningkatan volume. Strategi tersebut akan susah dijalankan apabila konsesi milik perusahaan dibatasi.
Lebih lanjut, Azis menyinggung soal jalan khusus tambang atau hauling road. Menurutnya, saat ini Kideco memiliki jalan yang digunakan dan dioperasionalkan sendiri oleh perusahaan. Kalau konsesi Kideco diciutkan, dan nantinya dikontrol oleh perusahaan lain, maka dimungkinkan Kideco mesti menyebarkan jadwal pemakaian jalan, yang berdampak pada tidak optimalnya produksi.
“Hauling road kita kini sekitar 40 kilometer, itu nanti gimana jika dibagi ? Yang tadinya full kita pakai, nanti harus ada shift dan jam-jam tertentu,” ulas Azis.
Untuk diketahui, selain Kideco, perusahaan pemegang PKP2B generasi pertama yang mau rampung kurun kontraknya, di antaranya PT Arutmin Indonesia luas lahan 57.107 habis tahun 2020, PT Kaltim Prima Coal luas lahan 90.938 hektare habis tahun 2021, PT Multi Harapan Utama luas lahan 46.063 hektare habis tahun 2022, PT Adaro Indonesia luas lahan 34.940 hektare habis tahun 2022, dan PT Berau Coal luas lahan 118.400 hektare habis tahun 2025.