Jakarta, TAMBANG – Mantan Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu, mendorong Pemerintah semoga lebih ambisius menekan pemanasan global melalui penggunaan energi terbarukan. Salah satu penyebab arah energi terbarukan masih loyo sampai kini, yaitu balasan kebijakan Pemerintah yang tidak berkelanjutan.

 

“Kalau kita mau beralih ke energi panas bumi, air, angin, dan sinar matahari, itu memerlukan kebijakan yang terang dari Pemerintah. Tapi masalahnya kan siklus politik kita 5 tahun, padahal ini memerlukan kebijakan 20-30 tahun ke depan,” kata Mari Elka Pangestu yang sekarang menjadi Anggota Badan Pembina Economic Research Institute for ASEAN and East Asia (ERIA), Jumat (8/2).

 

Mantan Menteri Perdagangan serta Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif di kurun Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini menyebut, komitmen donasi Indonesia yang sudah dituangkan dalam NDC (Nationally Determined Contributions) di atas kertas saja tidak akan dapat mencapai target pembatasan pemanasan global di bawah 2 derajat Celcius.

 

Sebagai isu, NDC yakni rancangan kontribusi masing-masing negara yang diputuskan secara sukarela, selaku tidak lanjut dari penandatanganan Persetujuan Paris. Persetujuan Paris sendiri ialah konvensi kerangka kerja pergeseran iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa atau UNFCCC, untuk mendorong pembatasan pemanasan global di bawah 2 derajat Celcius.

 

Mari Elka mengkritik soal pembangunan pembangkit listrik berbasis watu bara yang dikebut Pemerintah. Menurutnya, di tengah suasana dunia yang terus meminimalkan pemakaian energi fosil, pembangkit batu bara di era 20-30 tahun mendatang akan menjadi aset terbengkalai (stranded assets).

 

“Harus jelas gitu, bahwa bauran energi itu akan diubah dan akan ada regulasi maupun insentif untuk mendorong ke arah kenaikan penggunaan energi terbarukan. Kalau tidak, siapa yang mau berinvestasi?” lanjut perempuan yang juga didapuk selaku Penasihat Komisi Global terkait Geopolitik Transformasi Energi pada organisasi International Renewable Energy Agency (IRENA) ini.

 

Meski demikian, Mari Elka tidak menafikan bahwa watu bara selain masih menjadi sumber energi utama, juga menjadi komoditas ekspor penyumbang pemasukan negara. Tapi, ia mengingatkan jika nanti watu bara bakal kian ditinggalkan atau phase out.

 

“Kalau misalnya besok itu nggak ada, kita akan mengalami duduk perkara penyesuaian. Jadi, kita memang mesti melakukan phase out-nya secara terorganisir. Apa yang akan menggantikannya? Kalau kita bicara ekspor, mungkin listrik yang berbasis energi bersih,” bebernya.

 

Mari Elka mencontohkan, negara seperti Laos dan Butan mampu mengekspor listrik dari tenaga hidro ke negara tetangganya. Indonesia pun dinilai memiliki potensi ekspor listrik energi higienis ke Singapura atau Malaysia. Selain itu, Indonesia juga bisa melirik kesempatan ekspor produk dan jasa yang terkait energi terbarukan, seperti sel surya dan baterai.

 

“Kita bisa membangun environmental goods and services, alasannya adalah usul untuk energi itu untuk listrik. Nah, listrik itu kan selama ini terkait dengan meningkatnya populasi, tapi kita harus lihat juga bahwa transportasi akan beralih ke listrik sebab teknologinya akan meningkat . Kita punya mineralnya yang terkait dengan solusi energi terbarukan, mirip nikel yang ada di Morowali. Kita sangat bisa untuk menjadi produsen.” ujarnya.

Butuh Bantuan Atau Pertanyaan?

Achmad Hino siap membantu Anda dengan memberikan pelayanan dan penawaran terbaik.

WeCreativez WhatsApp Support
Tim dukungan pelanggan kami siap menjawab pertanyaan Anda. Tanya kami apa saja!
👋 Halo, Ada Yang Bisa Dibantu?