Jakarta,TAMBANG,-Forum Komunikasi Pegawai BPH Migas (FKP Bph Migas) menyampaikan point-point keberatan atas hasil seleksi Komite BPH Migas 2021-2025 terhadap Pemerintah. FKP BPH Migas meminta DPR-RI khususnya Komisi VII yang mau melakukan fit and proper test semoga mendengar aspirasi penduduk dengan meminta Pemerintah untuk melaksanakan “Seleksi Ulang”.
Kementerian ESDM dinilai telah melanggar ketentuan perundang-undangan yakni sesuai Penjelasan Pasal 47 ayat (2) UU No. 22 Tahun 2001. Dalam beleid tersebut disebutkan bahwa Komite BPH Migas paling sedikit mesti terdiri dari para tenaga profesional di bidang perminyakan, gas bumi, lingkungan hidup, hukum, ekonomi, dan sosial. Maka jikalau terdapat salah satu bidang tenaga profesional yang tidak tercukupi mirip tenaga profesional di bidang “Hukum” maka dianggap tidak menyanggupi ketentuan. Sehingga pengangkatan Komite BPH Migas MasaJabatan 2021 – 2025 oleh Presiden juga tidak memenuhi ketentuan dan dapat menjadi batal demi hukum .
Terkait kelembagaan BPH Migas, dalam Pasal 48 Ayat (3) UU No. 22 Tahun 2001 perihal Minyak dan Gas Bumi,
dan Pasal 2 Ayat (2) PP No. 67 Tahun 2002 ihwal Badan Pengatur Penyediaan dan Pendistribusian BBM dan Kegiatan Usaha Pengangkutan Gas Bumi lewat Pipa, disebutkan bahwa BPH Migas merupakan Lembaga pemerintah yang bersifat “independen”.
“Penjelasan Pasal 2 Ayat (2) PP No. 67 Tahun 2002, yang dimaksud dengan BPH Migas bersifat “Independen” yakni bahwa BPH Migas dalam melakukan fungsi dan tugasnya tidak dapat dipengaruhi atau terlepas dari imbas dan kekuasaan pemerintah atau pihak lain,” demikian isi pernyataan tertulis FKP Bph Migas,Rabu (02/06/2021) di Jakarta.
FKP BPH Migas menganggap menurut Pasal 47 Ayat (4) UU No. 22 Th 2001 ihwal Minyak dan Gas Bumi, BPH
Migas bertanggung jawab terhadap Presiden. Kemudian, dalam PP No. 67 Tahun 2002, tidak ada pasal yang menyatakan bahwa BPH Migas merupakan “Unit” dibawah Kementerian ESDM dan menurut PERPRES No. 68 Tahun 2015 tentang Kementerian ESDM, BPH Migas bukan merupakan unit dibawah KESDM.
Mengingat point-point diatas yang menyatakan bahwa BPH Migas ialah Lembaga pemerintah yang bersifat “Independen”, bertanggungjawab kepada Presiden, dan bukan “Unit” Kementerian ESDM, maka penyeleksian Komite BPH Migas,seharusnya yang menyelenggarakan ialah Sekretariat Negara, bukan Kementerian ESDM.
“Akan namun sayangnya di PP No. 67 Tahun 2002, pada a) Pasal 8 Ayat (2), BPH Migas memberikan “laporan” kepada Presiden “melalui” Menteri ESDM. Kemudian (b) Pasal 11 Ayat (2) menyebutkan bahwa Ketua dan para Anggota Komite diangkat dan diberhentikan oleh Presiden sehabis mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, menurut Usul Menter ESDM. Dengan demikian direkomendasikan supaya PP No. 67 Tahun 2002 tersebut, dilaksanakan revisi/pergeseran karena tidak cocok UU 22/2001),”.
Kemudian, FKP Bph Migas menilai Panitia Seleksi cuma beranggotakan Kementerian ESDM, Kemenpan RB, Kemensesneg, Kepolisian dan Akademisi. Sedangkan komponen masyarakat seperti Badan Usaha dan Organisasi/Wakil/Tokoh Masyarakat (termasuk Pemerintah Daerah) tidak dilibatkan, sehingga obyektifitasnya diragukan. Padahal BPH Migas berdiri di atas 3 Pilar, adalah Pemerintah, Masyarakat dan Badan Usaha. Kemudian salah satu Tupoksinya sesuai Pasal 8 UU 22/2001 ttg Migas ialah menjamin ketersediaan dan kelangsungan pendistribusian BBM dan mengembangkan pemanfaatan gas bumi lewat pipa “Diseluruh Wilayah NKRI”.
Dengan demikian anggota Pansel semestinya mewakili komponen Pemerintah, Badan Usaha, dan Tokoh/Perwakilan Masyarakat. Ditambah lagi terkait tolok ukur akseptor seleksi dibatasi usia 40 hingga 60 tahun, dan pengalaman minimal 10 tahun di bidang hilir migas. FKP Bph Migas menganggap dengan pembatasan ini, tentunya kontraproduktif.
Ada beberapa argumentasi disampaikan. Pertama, dengan pembatasan usia minimal 40 tahun, maka kaum “Milenial” dibawah 40 tahun yang potensial memiliki keterampilan dan profesional tidak akan mampu ikut selaku peserta. Demikian pula yang berusia 60 tahun ke atas yang masih bisa dan memiliki pengalaman dan keahlian, juga tidak dapat ikut seleksi.
Kedua, Semangat Presiden Jokowi yakni menyerap aspirasi Para “MILLENIAL” atau generasi muda di bawah 40 tahun dengan mengangkat antara lain sebagai Direksi BUMN, Staf Khusus Presiden bahkan Menteri Anggota Kabinet.
FKP BPH Migas menilai penerima hasil Panitia Seleksi ESDM tidak menyertakan sama sekali perwakilan dari Bph Migas. Padahal, dari BPH Migas terdapat 6 penerima ikut dalam seleksi, dengan maksud semoga dapat meneruskan acara-program BPH Migas sebelumnya dan sekaligus transfer of knowledge acara-program terdahulu biar keberlangsungannya program-acara tersebut tetap terjaga (sustaibility). Ini telah terjadi pada 4 periode Komite sebelumnya yang senantiasa menambahkan anggota Komite terdahulu.
Dan untuk itu seyogyanya dari 18 orang yang diajukan ke DPR lewat Presiden tersebut, ada terdapat wakil dari BPH Migas. Akan tetapi penerima hasil seleksi (18 orang) sama sekali tidak menyertakan satupun akseptor perwakilan dari BPH Migas. “Pertanyaannya yakni, apakah 6 peserta dari BPH ini mutu kemampuannya betul-betul dibawah para penerima yang gres, yang notabene para peserta yang baru tersebut belum terlalu paham tentang BPH Migas dan program- programnya?” tulis Surat Pernyataan tersebut.
FKP Bph Migas juga menilai, akseptor hasil seleksi Pansel ESDM tidak menambahkan akseptor dalam bidang hukum. Berdasarkan Penjelasan Pasal 47 Ayat (2) UU No. 22 Tahun 2001 perihal Migas, disebutkan bahwa “..Yang dimaksud dengan tenaga professional dalam ketentuan ini ialah pihak-pihak yang memiliki keterampilan pengalaman dan wawasan yang dibutuhkan antara lain bidang perminyakan, lingkungan hidup, HUKUM, ekonomi dan sosial,”
Selanjutnya mengenang tupoksi BPH Migas (sesuai UU 22/2001 dan PP 67/2002) salah satunya ialah fungsi “pengaturan” (disamping pengawasan) kepada penyediaan dan pendistribusian BBM dan gas Bumi lewat pipa. Oleh risikonya agak mengherankan bahwa penerima hasil pansel yang 18 orang tersebut sama sekali tidak menyertakan penerima yang memiliki latar belakang “aturan”. Saat ini BPH Migas telah mempunyai lebih dari 123 Peraturan BPH Migas, dan juga terdapat salah satu peran BPH Migas selaku Dispute Resolution (Penyelesaian Perselisihan Antar
Badan Usaha).
Apabila tidak ada Komite yang mempunyai latar belakang hukum, peran membuat peraturan-peraturan serta lembaga solusi pertengkaran (fungsi Arbitrase Migas) tidak akan dapat berlangsung sesuai harapan. Oleh risikonya pihaknya meminta DPR-RI khususnya Komisi VII meminta Pemerintah untuk melaksanakan “Seleksi Ulang”.