Jakarta, TAMBANG -PT Borneo Olah Sarana Sukses, Tbk. (BOSS) sukses meraih pemasaran bersih sebesar Rp172,9 miliar di semester I tahun 2019. Angka tersebut naik 28 persen dibandingkan penjualan bersih di era yang sama tahun sebelumnya senilai Rp135 miliar.
Selain itu, BOSS juga mencatatkan laba kotor sebesar Rp 68,43 miliar naik sebesar 19 persen dibandingkan kuartal yang serupa tahun sebelumnya sebesar Rp57,68 miliar. Sepanjang semester I tahun 2019, peningkatan juga terjadi di segi beban penjualan dan keuangan Perseroan. Beban keuangan perseroan meningkat menjadi Rp12,74 miliar, naik 124 persen dibandingkan pada kurun yang sama tahun lalu.
Direktur Keuangan BOSS Widodo Nurly Sumady mengungkapkan, peningkatan beban keuangan tersebut dikarenakan dampak investasi alat berat, pengembangan prasarana dan infrastuktur di wilayah tambang oleh perusahaan. Peningkatan beban ini kuat terhadap capaian keuntungan higienis perseroan. Laba bersih perseroan pada kuartal II tahun ini sebesar Rp11,73 miliar, terkoreksi 23 persen dari periode yang serupa tahun kemudian.
“Sepanjang semester I tahun ini, BOSS memang sedang melaksanakan pengembangan dan investasi. Terakhir pada bulan ini, BOSS sudah melaksanakan penandatanganan perjanjian fasilitas kredit modal kerja antara PT Pratama Bersama (PB) dan PT Bank Resona Perdania (BRP) senilai USD 3,5 juta,”ungkap Widodo dalam informasi resmi, Kamis (1/8).
Lebih lanjut Widodo mengungkapkan tujuan dari semua aksi korporasi yang dilaksanakan ialah dalam rangka kenaikan produksi dari tambang BOSS. Melalui investasi tersebut, saat ini BOSS sudah mampu berproduksi rata-rata 75,000 MT per bulannya, naik dari rata-rata bikinan tahun lalu yang hanya sekitar 25,000 MT per bulannya.
Widodo menambahkan, meski ditengah kondisi perlambatan ekonomi dan melimpahnya pasokan batu bara yang menjadikan harga kerikil bara turun secara global, BOSS justru sukses mencatatkan pertumbuhan penjualan sebesar 28 persen pada semester I 2019.
“Hal Ini dikarenakan batu bara BOSS yang ialah batu bara kalori tinggi dengan kadar abu dan belerang yang rendah masih banyak disenangi oleh pasar yang memerlukan tolok ukur tinggi dalam mengimpor kerikil bara, mirip Jepang, dan Korea Selatan, “ lanjut Widodo.