Jakarta,TAMBANG. Pemerintah balasannya memutuskan menurunkan harga gas untuk industri menjadi USD6 per MMbtu pertanggal 1 April 2020. Hal ini disampaikan eksklusif Menteri ESDM Arifin Tasrif dalam keterangan tertulis Rabu (18/3/2020).
Direktur Executive Energi Watch Mamit Setiawan menyampaikan keputusan ini akan mempunyai pengaruh terhadap semua sektor. ”Terkait dengan penurunan harga gas untuk industri sebesar USD6/MMbtu di plant gate konsumen aku kira ini akan berdampak pada semua sektor baik itu hulu juga midstream. Untuk sektor Hulu,sebagaimana diutarakan Menteri ESDM tidak ada pemotongan dari K3S namun pemotongan dari penerimaan negara,”kata Mamit dalam informasi pers yang diterima www.tambang.co.id, Kamis (19/03).
Mamit lalu menerangkan salah satu penerimaan negara yang terbesar yaitu PNBP Migas dimana tahun 2019 meraih Rp 115.1 T. Dengan demikian,ditengah turunnya harga minyak dunia ketika ini dan penurunan penerimaan negara dari gas maka target PNBP migas sebagaimana target dalam APBN 2020 sebesar Rp 127.3 T akan susah tercapai.
Dia juga memberikan bahwa dengan keadaan mirip ini SKK Migas mesti melaksanakan pengawasan yang ketat kepada K3S untuk lebih bisa effiesien lagi dalam pelaksanaan operasional alasannya harga sedang turun dan pemasukan negara menyusut. “Melalui efisiensi diperlukan bisa menolong pengurangan pemasukan pemerintah. Tapi, jangan sampai juga pengetatan ini menggangu investasi di sektor migas alasannya kita sedang berupaya untuk meningkatan produksi kita” ungkapnya lagi.
Sementara di sektor midstream, Mamit menyebutnya sebagai sektor yang paling terpukul dengan turunya harga gas industri ini. Ia menjelaskan kebijakan penurunan harga gas untuk Industri ini memukul PGN sebagaiindustri midstream. “Untuk midstream ini saya kira yang akan paling mempunyai efek. Jika Pemerintah menekan biaya distribusi dan angkutanturun menjadi USD1,5-2 per mmbtu akan sungguh memberatkan industri midstream ini,” ujar Mamit.
Bahkan lanjut Mamit kebijakan ini memiliki potensi membuat PGN selaku BUMN merugi. Hal ini mampu terjadi mengenang selaku Badan Usana yang berniaga memakai infrastruktur, 95% ongkos yang dikeluarkan PGN bersifat fix cost.
“Pembangunan pipa transmisi, distribusi, dan pembangunan terminal regasifikasi untuk LNG semua telah dijalankan dengan investasi yang tidak sedikit, jadi penurunan ongkos capex telah tidak mungkin dijalankan. Biaya operasi dan pemeliharaan jaringan juga tidak bisa dipangkas begitu saja alasannya terkait kehandalan jaringan pipa dan faktor safety” lanjut Mamit.
Tidak cuma mengkhawatirkan kondisi yang bakal dialami PGN dalam waktu bersahabat, Mamit juga mencemaskan nasib perngembangan industri midstream kedepan alasannya adalah dianggap tidak menguntungkan lagi.
“Padahal untuk mendukung optimalisasi pemanfaatan gas bumi domestik, kita masih butuh aneka macam investasi di infrastruktur gas bumi. Saya masih belum menyaksikan secara rincian dari rencana Menteri ESDM untuk sektor midstream ini kedepannya akan seperti apa,” ujarnya.
Mamit juga menjelaskan perlu ada rencana dari pemerintah untuk bisa melindungi industri midstream ini. “Industri gas itu butuh infrastruktur dari wellhead sampai ke end user. Atau dari terminal LNG hingga ke end user. Kaprikornus, jangan hingga sektor midstream menjadi terpukul balasan penurunan harga ini, dan pada alhasil akan menghalangi pertumbuhan industri gas bumi nasional” ujar Mamit
Selain itu juga, dia memberikan bahwa penurunan harga gas indutri ini sungguh-sungguh menunjukkan multiplier effect. ”Sebagaimana arahan dari Presiden bahwa industri yang diberikan insentif penurunan harga gas mesti betul-betul diverifikasi dan dievaluasi. Dengan demikian, santunan insentif penurunan gas akan menawarkan dampak yang signifikan dan menawarkan nilai tambah bagi perekonomian Indonesia” lanjut Mamit.
Kementerian Perindustrian menurutnya harus bertanggungjawab terhadap sumbangan nilai tambah kepada insentif harga gas yg diberikan. “Pemerintah, tubuh perjuangan hulu migas, tubuh hilir migas sudah berkorban banyak” tutup Mamit Setiawan.