Jakarta, TAMBANG, Komoditi timah ialah salah satu produk andalan Indonesia. Saat ini Indonesia merupakan salah satu produsen timah terbesar dunia dan selaku eksportir timah terbesar dunia. Sayangnya negara ini belum bisa menjadi penentu dan teladan harga timah global.

Hal ini menurut peneliti Alpha Research Database, Ferdi Hasiman diantaranya sebab di Indonesia masih ada dua  Bursa Komoditi yang memperdagangkan timah. Ada Bursa Bursa Komoditi dan Derivatif Indonesia (BKDI) dan Jakarta Future Exchange (JFX). Keduanya sama sama memperdagangan komoditi timah.

Oleh alhasil Ia mendorong Pemerintah bahkan Presiden Joko Widodo untuk turun tangan menangani dualisme  ini.

“Presiden bisa saja mencabut salah satu lisensinya. Jakarta Future Exchange (JFX) di bursa timah itu tiba belakangan, tahun 2018 mulai memasarkan timah. JFX ini memang telah usang aktif di bursa, tetapi lisensinya hanya untuk menjual komoditas emas dan kopi. Tetapi, mulai tahun 2018, JFX dengan melihat peluangtimah, masuk ke pasar timah murni batangan dan merusak harga,”jelas Ferdi dalam siaran persnya, Jakarta, Jumat (19/6).

Ferdi lalu menyebutkan bahwa Permendag Nomor 53 Tahun 2018, Tentang Ketentuan Ekspor Timah, tanggal 16 April 2018, juga membuka ruang bagi Bappebti untuk lahirkan  lebih dari satu bursa timah. Berangkat dari itulah dan atas perintah atasan, Bappebti mempublikasikan lisensi bagi bursa komoditi yang menyanggupi syarat untuk ikut memperdagangkan timah murni batangan.

JFX kesannya menjadi salah satu bursa timah selain BKDI (Bursa Komoditas dan Derivatif Indonesia) atau Indonesia Commodity & Derivatives Exchange (ICDX). Padahal, ICDX telah lebih dulu menjadi pedagang tunggal di pasar timah sekaligus menjadi penentu harga timah nasional dan acuan harga timah dunia. 

“Saya meminta Bappebti sesegera mungkin mencabut lisensi yang diberikan terhadap JFX, dan memutuskan ICDX menjadi pedagang tunggal timah di bursa komoditas. Presiden Jokowi harus turun tangan dan meminta Menteri Perdagangan, Agus Suparmanto, untuk mencabut Permendag ini”ungkap Ferdi.

Dualisme bursa komoditas timah di Indonesia tidak lepas dari kepentingan politik di Kementerian Perdagangan. Pada jaman pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dibawah pimpinan Menteri Perdagangan Gita Irawan Wirjawan, diterbitkan PERMENDAG RI Nomor 32/M-DAG/PER/6/2013, tanggal 28 Juni 2013, yang mengendalikan tata niaga ekspor timah dan mengharuskan timah diperdagangkan di Bursa Timah sebelum diekspor (Pasal 11, ayat 1).

Kebijakan ini telah memberi angin segar bagi pasar timah di tanah air untuk menjadi pola harga di pasar timah dunia. Selain itu, dengan adanya satu bursa, timah kita menjadi besar dan bisa menawarkan donasi keuangan yang besar bagi penerimaan negara. Keuntungan lainnya ialah stabilitas harga timah di pasar tersadar. 

Selain mampu meminimalisir jual-beli lisensi bahkan mengurangi perdagangan timah illegal, tergolong mewujudkan rencana Presiden Jokowi perihal Pusat Logistik Berikat (PLB). Terbukti Indonesia balasannya bisa mengatur harga timah dunia dan memperluas pasar eskpor timah terbukti harga timah dunia stabil diatas US$ 20.000/MT dari tahun 2016-2018 dan tugas Singapura sebagai secondary market dari semula 90 persen di tahun 2014 turun menjadi 20 persen di tahun 2018. Selain itu penerimaan negara dari Devisa Hasil Eskpor (DHE), Pajak dan Royalti terus meningkat.

Namun, ambisi besar contoh harga timah dunia dan kedaulatan timah Indonesia semenjak lahirnya PERMENDAG RI No. 32/2013 itu tak lagi menunjukkan angin segar bagi Industri timah Indonesia, sebab di rezim Menteri Perdagangan pemerintahan Jokowi-JK, Enggartiasto Lukita, tidak lagi menempatkan BKDI/ICDX sebagai satu-satunya bursa penentu harga timah. Permendag No. 53/2018 melalui Bappebti juga menimbulkan JFX selaku salah satu bursa timah selain ICDX.

Indonesia hanya perlu satu Bursa Timah, dan BKDI/ICDX adalah satu-satunya Bursa Komoditi dan Penentu Harga Timah di Indonesia.

Ferdi menyebutnya selaku anomali anomali kebijakan. Kehadiran 2 (dua) bursa akan merusak (disrupsi) acuan harga dan menjadikan terpuruknya timah, disamping itu pembeli akan bingung dalam memakai harga teladan hingga lebih menentukan transaksi jual beli timah Indonesia melalui secondary market.

Peningkatan perdagangan melalui secondary market akan mengakibatkan meningkatnya country risk jual beli timah murni batangan di Indonesia, sampai hasilnya mendegradasi kedaulatan Indonesia dalam menentukan harga timah, dan menurunkan akidah global kepada Indonesia. 

Harga Timah Anjlok

Problem dualisme bursa Timah Indonesia mengakibatkan harga Timah menerangkan tren penurunan semenjak 2019. Di tahun 2020, harga timah terus menurun sampai di bawah USD 15,000/MT sehingga potensial menjadikan kehilangan pemasukan devisa sebesar USD 400 Juta. 

Sebagai negara produsen Timah kedua terbesar dan negara eksportir timah terbesar, kehadiran 2 (dua) bursa mengakibatkan Indonesia tidak lagi menjadi negara price maker dan kehilangan kesempatanpasar yang besar. Selain itu, dualisme bursa akan melemahkan pengawasan kepada tata niaga perdaganganl timah Indonesia yang menjadikan pemanfaatan sumber daya alam yang tidak terbarukan ini menjadi kurang optimal.

Anomali kebijakan yang lain adalah Pasal 10 PerDirjen No: 05/DAGLU/2/2019 tentang Petunjuk Teknis Verifikasi atas Penelusuran Teknis Ekspor Timah, tanggal 7 Februari 2019, berbunyi sebagai berikut, Verifikasi atau Penelusuran Teknis Ekspor Timah Murni Batangan, Timah Solder, dan Barang Lainnya dari Timah yang dilakukan oleh Surveyor tidak menghemat kewenangann instansi teknis terkait untuk melaksanakan investigasi terhadap Timah Murni Batangan, Timah Solder, dan Barang Lainnya dari Timah.

PerDirjen ini harus dibatalkan alasannya adalah terang memunculkan rantai birokrasi yang panjang yang kian menyusahkan para pelaku pasar timah, bahkan terlihat tidak adanya kepastian aturan. 

Presiden Jokowi harus secepatnya turun tangan menanggulangi masalah ini. Ini bukan masalah sepele. Jika tidak diperhatikan, percuma saja Indonesia menjadi negara produsen timah paling besar kedua di dunia, tetapi tak mampu menentukan harga di pasar global. Padahal, yang namanya barang tambang akan mengalami kelangkaan dan mengalami titik puncak buatan. Cadangan timah kita terus dieksplorasi hingga habis dan tak memperlihatkan andil besar pada penerimaan negara.

Indonesia mempunyai keunggulan komparatif jual beli timah di pasar internasional dan Indonesia selaku net exporter timah. 

Total sumber daya timah Indonesia menurut data kementrian ESDM dalam bentuk bijih sebesar 3.483.785.508 ton dan logam 1.062.903 ton, sedangkan cadangan timah Indonesia dalam bentuk bijih sebesar 1.592.208.743 ton dan logam 572.349 ton. 

Cadangan timah Indonesia ini menempati urutan kedua terbesar di dunia setelah Cina. Dari sisi demand, Kebutuhan timah dunia berkisar 200.000 ton per tahun, dan Indonesia berkontribusi sebesar 40 persen atau sekitar 80.000 ton per tahun. Kondisi ini seharusnya menimbulkan Indonesia selaku benchmark harga timah dunia. 

Butuh Bantuan Atau Pertanyaan?

Achmad Hino siap membantu Anda dengan memberikan pelayanan dan penawaran terbaik.

WeCreativez WhatsApp Support
Tim dukungan pelanggan kami siap menjawab pertanyaan Anda. Tanya kami apa saja!
👋 Halo, Ada Yang Bisa Dibantu?