Jakarta, TAMBANG – PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) mengaku bakal kesusahan mengejar sasaran bauran energi sebesar 22,2 persen untuk Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG). Pasalnya, daya beli masyarakat masih belum memungkinkan untuk merealisasikan target tersebut.
“Affordability masyarakat berapa, yang kita tahu saat ini (daya beli) di bawah 22 persen,” kata Plt Direktur Utama PLN, Djoko Rahardjo Abumanan dikala dijumpai di ajang pameran bertajuk Gas Indonesia Summit and Exhibition 2019, Rabu (31/7).
Sebelumnya, PLN sempat menganjurkan terhadap Pemerintah supaya takaran gas dalam bauran energi diturunkan menjadi 17,7 persen. Tapi usulan tersebut ditolak.
Pemerintah sama sekali tidak mengganti komposisi pembangkit gas dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2019-2028, yang dirilis sementara waktu kemudian. Porsi pembangkit gas masih sama seperti RUPTL tahun sebelumnya, dipatok sebesar 22,2 persen.
Menurut Djoko, kendala logistik menjadi hambatan utama yang dihadapi PLN dalam pemenuhan sasaran tersebut. Sebab, sumber daya gas lokasinya jauh dari pengguna utama listrik.
“Sekarang kita bilang begini, energi gas ada di Kalimantan, ada di Sumatera, tetapi beban ada di Jawa, membawanya jadi masalah. Apakah mau di carrier atau pakai transmisi. Ini jadi opsi,” tutur Djoko.
Sebagai berita, Pemerintah mempertahankan takaran pembangikt gas karena gas dianggap mempunyai aksara yang cepat mengalirkan listrik saat beban puncak. Pembangkit gas dinilai stabil dalam menghasilkan pasokan setrum.
Sementara jenis pembangkit lain, batu bara misalnya, dinilai mempunyai abjad yang membutuhkan waktu lama dalam proses mengolah batu menjadi listrik.
Demikian pula pembangkit energi terbarukan, yang sifatnya intermitten atau berselang. Contohnya, energi matahari cuma dapat beroperasi di siang hari. Ketika matahari terbenam, panel surya tidak mendapat asupan energi.
“Sumber energi kan banyak, punya panas bumi, air, surya. Itu masih intermitten belum yang menjadi mass run. Memang nanti teknologi akan berkembang dengan adanya power storage,” beber Djoko.
Opsi lain untuk menangani beban puncak, mampu menggunakan tenaga bahan bakar minyak atau diesel. Tapi di segi lain, Pemerintah punya sasaran untuk meminimalisir penggunaan minyak.
Alhasil, satu-satunya alternatif ialah dengan mempertahankan komposisi pembangkit tenaga gas dalam RUPTL.
Untuk merealisasikan rencana pembangkit tenaga gas itu, PLN menyebut tidak bisa bekerja sendirian. PLN butuh perlindungan investasi dari pihak lain dalam mengejar-ngejar target bauran energi tenaga gas sebesar 22,2.
“Kita atur hingga harga kelayakan. Karena harga gas bila di Jawa murah, alasannya adalah infrastruktur sudah ada. Kalau ke Indonesia timur lebih mahal transportasinya dari pada gasnya. Ini tidak bisa dibangun sendiri oleh PLN atau utility,” pungkas Djoko.