Jakarta, TAMBANG – Pembekuan kegiatan ekspor nikel dalam beberapa pekan terakhir, menimbulkan seteru di antara para usahawan. Pasalnya, pengusaha smelter membeli bijih nikel dari penambang lokal dengan harga yang tidak wajar. Untuk menangani hal tersebut, Pemerintah mengontrol batas atas dan bawah harga nikel di pasar domestik.
Kepala Badan Koordinator Penanaman Modal, Bahlil Lahadalia menuturkan, pihaknya sudah mempertemukan seluruh pihak yang berkaitan dengan kebijakan pembekuan ekspor itu, di antaranya Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Asosiasi Perusahaan Pengolahan dan Pemurnian Indonesia (AP3I), dan perwakilan perusahaan di Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP).
Hasil pertemuan menyepakati bahwa harga tolok ukur bijih nikel minimal USD 27 dolar per ton dan optimal USD 30 per ton. Patokan itu digunakan untuk kadar nikel 1,65 persen atau di bawah 1,7 persen, dengan akad Free On Board (FOB) vessel.
“Kesepakatan harga ore yang diterima oleh teman smelter di sini, harganya internasional dikurangi transhipment dikurangi pajak, kurang lebih USD 30 dolar per ton. Maksimal 30 dolar FOB, minimum 27 dolar (per ton),” kata Bahlil saat konferensi pers di kantornya, Selasa (12/11).
Menurutnya, hasil kesepatan ini diberlakukan sampai penghujung tahun 2019. Sedangkan ketentuan harga domestik berikutnya, adalah di permulaan tahun 2020, masih diserahkan kepada mekanisme pasar atau bussines to bussines (B to B).
“Itu batas waktunya hingga 30 Desember (2019), harga fluktuatif tidak berpengaruh. Nanti 1 Januari (2020) permasalahan lain,” ujar Bahlil.
Di saat bersamaan, Sekertaris APNI, Meidy Katrin Lengkey mengungkapkan, penambang nikel merasa terbantu dengan adanya kesepakatan harga tersebut.
“Kami dari penambang, terima kasih kepada Pemerintah yang telah memediasi. Kalau smelter mau menyerap seperti harga internasional diiris pajak dan transhipment, kurang lebih USD 30 dolar FOB, kami sudah mendapatkan,” tuturnya.
Nada yang seolah-olah keberatan atas janji itu datang dari Chief Executive Officer IMIP, Alexander Barus. Ia menyampaikan, pihaknya masih menghendaki harga diserahkan mengikuti pasar. Meski demikian, bos merek kendaraan beroda empat DFSK ini, tetap mengikuti ketentuan dari Pemerintah.
“Ini kan B to B, jadi saya tidak menyampaikan iya atau tidak, semoga Pemerintah melihat dari dua sisi, kalau besok harga tiba-tiba turun ? jadi ya sudah kita yakin Pemerintah. Kami tetap mematuhi yang digariskan Pemerintah. Itu tidak akan membunuh investasi yang ada, dan tidak membunuh penambang yang ada,” ungkap Alex.
Untuk diketahui, larangan ekspor nikel awalnya diberlakukan pada 1 Januari 2020. Penambang masih mempunyai potensi untuk menjual bijih ke mancanegara sampai akhir tahun 2019. Tapi kemudian, Pemerintah membekukan sementara ekspor tersebut semenjak Selasa (29/10) kemudian. Selama kala pembekuan, penambang tak punya opsi selain memasarkan barangnya ke smelter domestik. Lalu terjadi banjir pasokan bijih nikel di pasar domestik, yang membuat posisi pebisnis smelter berada di atas angin, dapat menawar harga beli di bawah rata-rata.
Soal tekanan harga, sebelumnya Meidy pernah menerangkan, nikel kadar 1,7 persen dibanderol di pasar domestik FOB seharga USD 15 per ton. Sementara itu, nikel dengan kadar yang serupa, laku di pasar ekspor seharga USD 30 per ton. Ada disparitas harga antara pasar lokal dan luar negeri.
“Harga lokal kami cuma USD 15. Kenapa orang ramai-ramai ekspor, batas kadar bijih nikel yang bisa diekspor 1,7 persen atau 1,69 persen, harga (ekspor) FOB vessel USD 30,” ungkapnya sementara waktu kemudian dalam jadwal Focus Group Discussion yang digelar APNI.