Jakarta,TAMBANG, Sebuah riset yang dilaksanakan Bain & Company dan Temasek menyebutkan tahun 2022 sudah menjadi titik balik dalam hal kesepakatan dan tindakan konkret terhadap pergantian iklim di daerah Asia Tenggara. Disebutkan bahwa COP26 yang dikerjakan simpulan tahun lalu turut berperan dalam mempercepat agresi konkret baik di tingkat pemerintah nasional, bareng dengan perusahaan, investor, dan pelanggan dalam hal pergeseran iklim.

Ini tertuang dalam laporan  yang berjudul “’Ekonomi Hijau Asia Tenggara 2022: Berinvestasi di balik realitas gres’. Riset ini mendapat santunan dari Microsoft.  Dalam laporan tersebut diterangkan bahwa  sudah ada kemajuan dari para pemangku kepentingan dalam upaya kasatmata mengatasi kesenjangan dalam investasi dan penghematan emisi sambil memperhatikan keseimbangan aspek ketahanan energi dan pangan serta kekhawatiran inflasi yang meluas. Ke depan, menjadi penting untuk mengarahkan investasi pada upaya konkret mendorong penekanan emisi yang lebih singkat.

Laporan tersebut menekankan bahwa tantangan ke depan yakni bergerak dari Janji menjadi tindakan. Riset yang dilakukan menyebutkan bahwa event COP26 sudah memajukan ambisi dari kawasan dimana delapan dari sepuluh negara sekarang memiliki sasaran nol emisi. Kemudian dua negara gres, Singapura dan Indonesia bahkan siap menerapkan pajak karbon.

Investasi hijau telah berkembangdimana secara kumulatif tercatat sebesar US$15 miliar yang masuk ke Energi Terbarukan dan pengembangan Lingkungan sejak 2020. pengembangan energi bersih juga tumbuh dengan fokus pada pembangunan dan kenaikan kapasitas berkesinambungan, utamanya di bidang energi dan pertanian pangan, dikombinasikan dengan kemajuan eksponensial (3x) dalam investasi keberlanjutan Private Equity (PE)/Venture Capital (VC) antara tahun 2020 dan 2021. Akhirnya, pelanggan siap untuk bertindak dengan 90% bersedia mengeluarkan uang lebih untuk produk yang mempunyai dampak lingkungan yang nyata.

Namun, kemajuan gres-baru ini belum menangani pengurangan emisi dan kesenjangan investasi yang ada. Terlepas dari ambisi gres yang lebih berani, sebagian besar negara Asia Tenggara memerlukan peta jalan yang lebih konkrit serta insentif dan rencana pembiayaan iklim yang lebih rincian. Terdapat kesenjangan emisi yang besar adalah antara 2,6-3,2 Gt ketimbang target 2030 setelah memperhitungkan kenaikan marjinal dalam tingkat emisi menurut Kontribusi yang diputuskan secara nasional (NDC) terbaru dan proyeksi kebijakan yang direncanakan.

Tingkat investasi saat ini kurang dari US$20 miliar, kurang dari asumsi US$1-3 triliun yang dibutuhkan untuk menutup kesenjangan emisi. Tantangan makro yang meningkat terhampar di depan pemerintahan nasional, alasannya adalah mereka bergumuldengan prioritas yang berkompetisi tergolong soal keselamatan energi di tengah konflik Ukraina, pemulihan Covid-19, dan tekanan inflasi.

“Kawasan Asia Tenggara perlu bergerak dari akad menjadi langkah-langkah dan menjembatani kesenjangan antara peluang dan hasil yang akan menjadi tonggak penting. Kami tetap optimis dengan kesempatan ekonomi senilai US$1 triliun di Asia Tenggara, namun kami perlu melangkah selaku daerah untuk memperkuat pasar yang mampu diinvestasikan dan memajukan ajaran modal hijau,” terang Dale Hardcastle, Mitra dan Direktur Pusat Inovasi Keberlanjutan Global (GSIC) di Bain & Company.

“Untuk menangkap peluang ini, bisnis harus memimpin dengan terobosan dan kolaborasi inovatif di seluruh pemangku kepentingan, dan pembuat peraturan dan pasar perlu memfokuskan upaya transisi pada penerapan penyelesaian siap pakai. Meskipun tidak ada peluru perak untuk teka-teki iklim ini, teknologi yang sudah terbukti dengan hasil investasi nyata akan memiliki pengaruh pada pemilik usaha kecil dan petani di dasar ekonomi untuk memungkinkan transisi yang berkelanjutan.” pungkas Dale.

Butuh Bantuan Atau Pertanyaan?

Achmad Hino siap membantu Anda dengan memberikan pelayanan dan penawaran terbaik.

WeCreativez WhatsApp Support
Tim dukungan pelanggan kami siap menjawab pertanyaan Anda. Tanya kami apa saja!
👋 Halo, Ada Yang Bisa Dibantu?