Jakarta,TAMBANG,- Rencana Pemerintah untuk membentuk holding dan melaksanakan privatisasi atas PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) menjadi langkah yang bertentangan dengan konstitusi dan potensial merugikan rakyat dan pekerja PLN.
Sikap tegas Serikat Pekerja PLN ini mendapat bantuan Federasi serikat global, Public Services International (PSI). Dukungan tersebut ditunjukkan lewat surat yang disampaikan terhadap Presiden Joko Widodo. Federasi serikat global ini beranggotakan lebih dari 700 serikat pekerja yang mewakili 30 juta pekerja di 154 negara yang konsisten memperjuangkan penguasaan public pada “public goods”.
Terkait pemberian tersebut, Ian Mariano, Southeast Sub-regional Secretary Public Services International (PSI) mengatakan listrik ialah keperluan dan kepentingan strategis bagi negara yang berefek pada kehidupan seluruh rakyat Indonsia. Oleh karena itu Pemerintah harus mempertahankan kepemilikan dan bekerja untuk menentukan akses umun dan transisi yang adil dan merata ke generasi rendah karbon.
“Privatisasi layanan energi tidak akan memungkinkan saluran universal atau memungkinkan transisi mendesak ke generasi rendah karbon, seperti yang dipersyaratkan dalam Kesepakatan Paris Agreement. Indonesia sudah menandatangani Paris Agreement dan berjanji menghemat emisi rumah kaca sebanyak 29% pada tahun 2030 dengan mengembangkan penggunaan energi terbarukan sampai 23% dari total konsumsi nasional pada tahun 2025),” dalam suatu pertemuan pers virtual, Rabu (15/9).
Di kesempatan yang serupa, Ketua Umum SP PLN, M Abrar Ali kembali memastikan perilaku Serikat Pekerja PLN yang disampaikan pada akhir Juli 2021 yang kemudian. SP-PLN dengan tegas menolak pembentukan holding PLTP jikalau tidak diserahkan kepada PLN sebagai induk holding perusahaanya.
Selain itu, lanjut Abrar penolakan juga disampaikan SP-PLN kalau pembentukan holding dilanjutkan dengan privatisasi atau pemasaran saham PLN atau anak perusahaanya lewat mekanisme IPO di pasar modal.
“Jika privasitasi PLN itu dijalankan, dan swasta masuk yang nota bene berorientasi untung, dampaknya akan memacu kenaikan tarif listrik. Kenaikan tarif listrik inilah nyaris dipastikan terjadi jikalau PLN sudah dikuasai swasta yang nota bene profit oriented,” tandas Abrar.
SP-PLN menolak pembentukan holding dan privatisasi PLN bukan semata-mata kepentingan Serikat Pekerja, namun untuk memastikan pelaksanaan konstitusi negara selaku hukum tertinggi. Aturan tersebut mesti ditaati semua pihak tergolong Kementerian BUMN dan PLN.
Abrar juga menegaskan, para pengambil kebijkan hendaknya melihat kembali sejarah. “Perjuangan para perintis PLN serta amanat konstitusi ini harus tetap ditegakkan. PLN tidak diprivatisasi serta tidak diserahkan ke pemilik modal yang lebih mengejar-ngejar laba dibandingkan pelayanan ke rakyat dan bangsa,” ungkap Abrar.
Sementara itu, Sekjen SP-PJB Dewanto mengatakan pihaknya setuju, sesuai putusan judicial review di MK, sektor pelayanan energi dan pelayanan publik seperti PLN dihentikan diprivatisasi. “Sektor pelayannan publik dan energi harus tetap dibawah kendali negara melalui BUMN yang eksklusif dikelola dewan perwakilan rakyat dan mengacu pada aturan konstitusi,” tutur Dewanto.
Sebelumnya Kementerian BUMN berniat membentuk holding company untuk pembangkit panas bumi (PLTP) dan pembangkit listrik tenaga uap-batubara (PLTU). Bahkan untuk pembangkit panas bumi akan dipisahkan dari PLN. Selanjutnya setelah membentuk induk perusahaan yang terpisah, aset dan saham tersebut akan ditawarkan ke public lewat penawaran biasa perdana (IPO).