Jakarta, TAMBANG – Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas (SKK Migas) Dwi Soetjipto mengungkapkan, perubahan regulasi menjadi tantangan di industri migas ketika ini. Menurutnya, Indonesia dapat mengoptimalkan target kalau regulasi tidak sering berubah.
“Saya kira semua mengerti, bahwa kita akan berada dalam masa decline, jika kita tahu, decline kita akan mencapai angka 20 persen jikalau tidak melakukan apa-apa ,” ungkap Dwi dalam konfrensi pers di program Indonesia Petroleum Association (IPA) Convex 2019 di Jakarta Convention Center (JCC), Rabu (4/9).
Menurut Dwi salah satu hal yang mesti dikerjakan ialah dengan melakukan optimalisasi. Kemudian diperlukan akad dalam rencana kerja serta mengontrol anggaran.
Dwi mengungkapkan perlu adanya sinergi dengan para Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) dan juga penggunaan infrastruktur secara open access mechanism. Selain itu diperlukan pengadaan bersama, perpanjangan kontrak, dan peningkatan teknologi.
“Perpanjangan kontrak jikalau hanya 1 tahun akan mahal. Makanya kita ciptakan persetujuan jangka panjang. Kita juga mesti mengusahakan teknologi yang terbaik. Misalnya gas, lifting gas itu beda buatan dan lifting itu bedanya 15-16 persen, yang dilifting tinggal 85 persen itu harus dievaluasi,” terang Dwi.
Menurut Dwi potensi migas di Indonesia kedepan cukup menantang. Dari 128 cekungan yang ada, baru 54 yang telah dieksplorasi. Selain itu, dari 54 blok eksplorasi, gres 18 yang telah aktif berpoduksi. Hal Ini dinilai Dwi menjadi potensi untuk mencari investor ke depan.
“Potensi kita kini berada di maritim dalam, jauh dari infrastuktur. Makara memang harus besar lengan berkuasa investasi. Seperti yang tadi Pak Menteri dan Bu Louis katakan, kita harus memajukan efisiensi. Bagaimana nanti penanam modal ini akan kita arahkan ke tempat yang niscaya menciptakan profitabilitas,” terang Dwi.