Jakarta, TAMBANG – Pemerintah ingin menyetop keran impor liquified petroleum gas (LPG) lewat proyek strategis hilirisasi kerikil bara yang diolah menjadi dimethyl ether (DME). Berdasarkan kajian Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian ESDM, dikala masuk tahap komersial nantinya, DME tetap akan membutuhkan suntikan subsidi.
Kepala Balitbang KESDM, Dadan Kusdiana menyampaikan, subsidi DME diperlukan untuk mempertahankan supaya DME sanggup berkompetisi, menyanggupi skala keekonomian, termasuk soal harga jual ke masyarakat. Meski demikian, pihaknya akan berupaya memburu nilai subsidi DME tidak melampaui subsidi LPG yang ada saat ini.
“Menurut aku, subsidi DME akan tetap ada, tapi besaranya tidak lebih besar. Maksimum sama dengan LPG,” ujarnya saat konferensi pers virtual, Rabu (22/7).
Padahal sebelumnya, ide proyek DME digagas karena tingginya impor LPG yang membuat angka subsidi terus membesar. Tahun kemudian misalnya, realisasi subsidi LPG menyentuh Rp 42,47 triliun. Sedangkan tahun ini, subsidi LPG dialokasikan sebesar Rp 50,6 triliun.
Dalam setahun, konsumsi LPG nasional tercatat meraih 7 juta ton. Sebanyak 1,9 juta ton dipenuhi dari buatan domestik. Sementara sisanya atau sekitar 75 persen mengandalkan impor.
Selain menciptakan anggaran subsidi sulit ditekan, kondisi ini juga menenteng dampak pada defisit neraca jual beli dan menggerus devisa. Hal ini ditegaskan oleh Presiden Joko Widodo dalam berbagai kesempatan, salah satunya pada acara Indonesia Mining Award, final tahun kemudian.
Kombinasi Campuran DME
Lebih lanjut, kajian Balitbang KESDM itu juga menyebutkan bahwa DME belum bisa sepenuhnya mengambil alih LPG. Untuk skala pemenuhan kebutuhan rumah tangga, DME hanya cocok menjadi gabungan saja, bukan subtitusi 100 persen.
Komposisi gabungan yang optimal adalah 20 banding 80 dalam berat. Sebanyak 20 persen DME dapat dikombinasikan dengan 80 persen LPG.
Balitbang KESDM sudah melaksanakan uji terap dengan komposisi tersebut menggunakan kompor yang umum dipakai untuk LPG rumah tangga. Uji terap berlangsung di Sumatera Selatan pada simpulan tahun kemudian. Sejumlah penduduk yang mengikuti uji terap, menjajal memasak pakai DME.
“Secara teknis kita mampu memutuskan bahwa DME dicampur 20% dengan 80% LPG ini. Bisa menggunakan kompor LPG exisiting. Butuh uji terap yang lebih luas untuk memahami faktor keberterimaan sekaligus sosialisasi DME,” kata Dadan.
Tugas Balitbang ESDM Uji Teknis
Pemerintah mencanangkan proyek DME dengan mendorong trio pelat merah, PT Bukit Asam, PT Pertamina, dan PT Chandra Asri Petrochemical. Ketiganya menggandeng pemasokteknologi gasifikasi dari Amerika Serikat, Air Products and Chemical.
Menurut Dadan, uji teknis pemakaian DME pada skala rumah tangga sudah nyaris selesai. Namun, pihaknya belum mampu memutuskan, apakah DME nantinya mampu mempunyai harga jual yang lebih hemat biaya dibandingkan LPG.
“Dari sisi keeknomian, dua hal yang tidak bisa kami tentukan. Yang pertama yaitu harga LPG. Yang kedua dari sisi bahan baku termasuk harga DME secara internasional. ini sedang dicari titik yang pas,” paparnya.
Adapun hitungan keekonomian proyek DME yang dijalankan trio pelat merah, sambung Dadan, memakai asumsi harga materi baku kerikil bara kalori rendah sekitar USD 20 per ton. Kemudian harga LPG di kisaran USD 563 per ton.
Betapapun belum menemukan titik niscaya kalkulasi yang irit, tapi Dadan memastikan, bahwa faktor teknis merupakan tahapan awal yang mesti tertuntaskan apalagi dulu dalam pencanangan proyek strategis. Pada tahap ini, Balitbang KESDM sudah menjalankan tugasnya mengawal proyek DME, memastikan DME dapat dipakai oleh masyarakat untuk mengolah masakan.
Kata Dadan, jika secara teknis telah teruji, maka tahap selanjutnya ialah mengkalkulasikan kelayakan bisnis yang menjadi ruang kerja pelaku industri.
“Dalam pengambilan kebijakan, segi teknis mesti clear dulu. Berikutnya gres faktor keekonomian. Harga kajian yang sudah dikerjakan Pertamina dan Bukit Asam, itu akan impas, sesuai dengan harga LPG sekarang,” ulasnya.