Jakarta, TAMBANG – Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batubara (Tekmira) Kementerian ESDM menginisiasi observasi anoda baterei dari materi watu bara. Caranya dengan mengkonversi batu bara menjadi materi baku pitch bernilai tinggi.
Penelitian yang dikerjakan Kelompok Penelitian dan Pengembangan (KP3) Batubara ini bermaksud mendukung acara hilirisasi watu bara menjadi materi baku grafit sintetik yang bernilai tinggi. Kegiatan difokuskan pada pengerjaan prekursor karbon dari residu distilasi ter batu bara selaku material penyimpanan energi.
Koordinator KP3 Batubara, Slamet Handoko menjelaskan, grafit merupakan bahan baku utama anoda baterai yang biasa digunakan pada baterai perlengkapan elektronik seperti baterai telepon genggam, laptop dan kendaraan listrik. Material ini berkinerja tinggi dan mempunyai kapasitas pengisian cepat dan umur yang panjang.
Saat ini, sekitar 83 persen pasokan grafit alam dunia berasal dari Tiongkok dan Brasil. Namun tidak semua grafit alam mampu digunakan selaku anoda baterai, alasannya adalah alasan kemurnian dan kualitas ukuran kristalnya. Grafit sintetik mempunyai kemurnian dan ukuran kristal yang homogen.
Sayangnya, sambung Slamet, ongkos proses pembuatan grafit sintetik secara konvensional dari minyak bumi masih mahal, meraih 10 kali ongkos pembuatan grafit alam. Walaupun harga grafit sintetik melangit, proporsi pemakaian grafit sintetik selaku anoda baterai tidak berkurang. Untuk menekan ongkos produksi, biasanya grafit sintetik dicampur dengan grafit alam olahan (spherical graphite).
“Per tahun 2014 proporsi grafit sintetik meraih 33-40 persen dan diprediksi terus meningkat seiring dengan kenaikan kebutuhan baterai mobil listrik”, tutur Slamet.
Berdasarkan data yang dipublikasi oleh produsen mobil listrik Tesla, undangan grafit alam diperkirakan berkembangsetiap tahunnya sebesar 154 persen. Ini menempatkan grafit selaku materi galian paling diburu ke depannya. Oleh alasannya adalah itu penelitian grafit sintetik perlu dikerjakan untuk mengantisipasi ledakan seruan, terlebih Indonesia tidak memiliki tambang grafit alam yang irit.
Batu bara peringkat rendah di Indonesia sungguh berlimpah dan potensinya cukup besar untuk dimanfaatkan sebagai prekursor karbon dalam pengerjaan anoda baterai. Pada lazimnya , watu bara menghasilkan senyawa hidrokarbon dikala dibakar dengan oksigen dan menghasilkan panas.
Namun jikalau batu bara dipanaskan pada kondisi tanpa oksigen, akan didapatkan hidrokarbon dalam bentuk ter watu bara yang dapat diolah lebih lanjut menjadi pitch. Proses pengerjaan ter batubara ini dikenal selaku pirolisis, sementara proses pengolahan ter menjadi pitch biasanya lewat distilasi. Kedua proses ini telah diteliti dan dikuasai oleh para peneliti Puslitbang Tekmira.
Walaupun demikian tidak semua bab dari pitch tersebut dapat dijadikan grafit sintetik sehingga perlu proses adaptasi dan ekstraksi menggunakan pelarut. Hanya sekitar 30-40 persen dari pitch yang dapat diekstrak dan lalu dapat dijadikan prekursor karbon untuk pembuatan grafit sintetik. Produk hasil ekstraksi sering juga disebut selaku mesophase pitch, alasannya adalah mengandung 100 persen karbon, yang mampu dikonversi menjadi grafit.
Ketua Tim Penelitian, Phiciato memaparkan, proses pembuatan grafit sintetik secara konvensional, baik yang menggunakan minyak bumi atau kerikil bara, mesti lewat proses pada suhu ekstrim sekitar 2.000 – 3.000 celcius. Kondisi ini sulit diterapkan secara ekonomis pada skala industri. Dengan sumbangan katalis, suhu proses mampu diturunkan sampai mendekati 1.000 celcius. Hasil observasi dengan X-Ray Diffraction menawarkan grafit sintetik mampu terbentuk pada suhu 1.200 celcius dengan derma katalis berbasis Fe (Ferrum).
“Kunci keberhasilan dipengaruhi dua aspek yakni efektivitas pembuatan mesophase dan pemilihan jenis katalis. Saat ini tim peneliti masih berkonsentrasi pada pembuatan mesophase dan ke depan akan menyebarkan katalis yang sesuai dan irit”, ujar Phiciato.
Peneliti Muda Puslitbang Tekmira ini menguraikan, pada prinsipnya grafit sintetik mampu disintesa dari segala jenis material karbon mirip biomassa, jelaga, arang dan limbah industri, asalkan mempunyai media katalis yang tepat dan jaminan ketersedian pasokan. Jika dibandingkan dengan biomassa, kandungan karbon tetap (fixed-carbon) pada kerikil bara rata-rata 2-3 kali biomassa.
Hal ini yang mendasari pemilihan watu bara dan turunannya sebagai prekursor karbon yang hemat. Semakin tinggi kandungan karbon tentu memiliki dampak pada semakin baiknya keekonomian proses grafitisasi.